Monday 5 December 2011

Makassar: Kota Dunia, Penghargaan Healthy City dan Kejadian Banjir

Kota Makassar dan beberapa kota lainnya di Indonesia baru saja mendapatkan penghargaan Swasti Saba Wistara. Sebuah penghargaan kota sehat (Healthy City) yang diberikan oleh pemerintah pusat melalui keputusan bersama (joint decision) antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri, Indonesia. Tentu saja ini adalah sebuah hasil karya dan kerja nyata bagi pemerintah, aparat pemerintah bersama dengan masyarakatnya. Tetapi nampaknya masyarakat tidak puas atas penghargaan ini. Apa arti dan makna sebuah penghargaan itu bagi Makassar menuju Kota Dunia (World City) dan Makassar Kota Sehat (Makassar Healthy City) sementara pada waktu yang relatif bersamaan Makassar menjadi kota banjir. Menarik dikaji dalam tulisan ini.

Penghargaan Healthy Cities
Tahun lalu (October 2010), saya mendapat kesempatan untuk menghadiri the 4th Global Conference of the Alliance for Healthy Cities di Seoul, Korea Selatan atas biaya dari Griffith University, Australia dan penyelenggara conference di Seoul. Conference ini dihadiri oleh lebih dari 500 peserta dari berbagai negara  khususnya negara-negara yang berasal dari Western Pacific region seperti Australia, Korea Selatan, Jepang, China, Malaysia, Phillipine, Vietnam, Singapore, Mongolia,   dan negara-negara di Pacific islands seperti  Vanuatu, Solomon islands dan sebagainya. Para walikota/bupati, politisi, birokrat, unsur perguruan tinggi, NGOs, hadir pada conference itu. Saya sebagai perwakilan Griffith University, Australia mempresentasikan tentang Comparative analysis of Healthy Cities and Clean Cities (Adipura) in Indonesia.

Apa yang saya ingin paparkan disini adalah bahwa di negara-negara yang disebutkan tadi juga mengenal adanya penghargaan baik penghargaan yang diberikan oleh WHO maupun penghargaan yang diberikan oleh pemerintah pusat disetiap negara terhadap kota yang mengembangkan Healthy Cities. Penghargaan ini diberikan berdasarkan kategori atau dimensi dari Healthy Cities itu. Pada tahun 2010 yang lalu, WHO misalnya memberikan penghargaan kepada  Kota Changwon, Korea; Kota Nagoya, Japan; Kota Zhangjiagang, China yang sukses mengembangkan Environmentally Sustainable and Healthy Urban Transport (ESHUT). Kota Changwon dan Jangheung-gun, Korea sukses mengembangkan A healthy city is a safe city (injury and violence prevention).  Kota Changwon, Yeongi County, dan Kota Wonju, Korea sukses mengembangkan promoting physical activity in the city.  Kota Wujiang, China dan Kota Seongdong, Korea yang sukses mengembangkan health promoting schools in cities.  Kota Gwangmyeong, Korea dan Kota Tagaytay, Philippines sukses  mengembangkan 100% indoor smoke-free workplaces, restaurants and bars in healthy cities dan kepada Gangnam-gu, Seoul, Korea yang sukses mengembangkan recognition of best practices in public sanitary conveniences. Itu adalah sejumlah penghargaan yang diberikan oleh WHO terhadap negara-negara yang mengembangkan Healthy Cities di Western Pacific Region.

Di tingkat negara seperti Korea juga misalnya memberikan penghargaan berupa sertifikat atau trophy kepada kota-kota yang mengembangkan Healthy Cities pada setiap bulan April in the Korean Healthy City Partnership General Assembly (semacam Majelis Umum Forum Kemitraan Kota Sehat Korea). Namun pemberian penghargaan ini tidak secara rutin diberikan.   

Apa pelajaran yang bisa dilihat dari penghargaan ini: pertama, penghargaan itu penting untuk memberikan rasa bangga kepada pimpinan kota dan organisasi terhadap usaha, aksi dan kebijakan dalam mewujudkan Healthy Cities. Kedua, penghargaan Healthy Cities diberikan kepada kota-kota yang sukses mengembangkan dimensi Healthy Cities secara spesifik misalnya kota yang sukses mengembangkan program physical activity, kota yang aman dari kekerasan dan kecelakaan, kota yang sukses menata lingkungan secara berkelanjutan dan system transportasi yang sehat. Mereka mendapatkan penghargaan Healthy Cities karena sukses mengembangkan dimensi Healthy Cities, penghargaannya lebih spesifik. Ketiga, penghargaan-penghargaan tersebut berjalan secara alamiah, bukan sesuatu yang harus dipaksakan dan menjadi tujuan akhir dari Healthy Cities. Para walikota tidak berubah untuk berlomba menata kotanya hanya karena ingin mendapatkan penghargaan tadi. Tidak seperti penghargaan yang diperoleh para pejabat di Indonesia misalnya penghargaan piala Adipura dan piala atau penghargaan lain yang ada, dimana kota dibersihkan, jalanan disikat hanya karena ingin meraih Piala Adipura. Ragam tarian, adat dan budaya dilakukan hanya karena Tim Penilai Healthy Cities telah datang.

Di Indonesia penilaian Healthy Cities menjadi sesuatu yang sangat sakral. Kota-kota dan segala sumber daya yang dimilikinya tampil terbaik pada saat tim penilaian dilakukan. Mereka berubah karena ingin dinilai. Apa dampaknya setelah penilaian dilakukan, piala dan penghargaan telah dicapai, keberlanjutan program tidak berjalan sebagaimana mestinya karena kota berubah karena penghargaan.  Keempat, penghargaan Healthy Cities tidak bernilai politis, artinya bahwa para walikota bekerja keras mencapai piala atau penghargaan tadi bukan karena ingin menjadikan dasar kesuksesan untuk maju sebagai walikota periode berikutnya atau pada pemilihan gubernur yang akan datang misalnya. Healthy Cities adalah proses, bukan output. Healthy Cities adalah kebijakan jangka panjang yang mempertimbangkan seluruh dimensi pembangunan yang akan berimplikasi pada munculnya sakit, cacat, kecelakaan dan kematian.

Healthy Urban Planning
Para ahli berpendapat bahwa terjadinya banjir disebabkan karena naiknya permukaan air (sea level rise) dan meningkatnya curah hujan. Argumentasi ini tentu ada benarnya tetapi dalam konteks Makassar dan kota-kota lain di Indonesia terjadi banjir karena pemerintah kota gagal menata kota dengan baik (Unhealthy Urban Planning), pemerintah kota belum dapat menjadi pengawas kota yang baik, pemerintah kota belum dapat menjadi penegak aturan yang baik. Tata ruang, tata kota belum ditata dan direncanakan serta diimplementasikan dengan baik. Banjir tahunan terjadi dimana-mana karena selokan tersumbat dimana-mana. Air tidak bisa mengalir karena selokan tersumbat, tidak ada saluran yang memungkinkan air bisa mengalir dengan maksimal, jalanan sudah lebih rendah daripada selokan, banjir pasti terjadi, kota pasti tenggelam karena banjir. Dampaknya bukan hanya karena banjirnya itu sendiri tetapi dengan banjir bisa memberikan dampak lain misalnya terjadinya kemacetan lalu lintas; murid, siswa dan guru datang terlambat ke sekolah; pekerja pemerintah terlambat memberikan pelayanan kepada masyarakat; buruh dan pegawai swasta dapat diberikan sanksi dari perusahaanya karena dianggap tidak disiplin dan menurunnya produksi perusahaan dan sebagainya. Dari aspek lingkungan dan kesehatan dampaknya jelas yaitu lingkungan menjadi tidak bersih, potensi munculnya penyakit menjadi semakin lebih besar.

Pontoh dan Kustiwan (2009) dalam bukunya Pengantar Perencanaan mengidentifikasi berbagai permasalahan perencanaan perkotaan. Pertama, perencanaan tata ruang versus pertumbuhan perumahan kumuh. Kota mempunyai perencanaan tata ruang, tetapi tata ruang ini pula memberi konsekuensi meningkatnya perumahan-perumahan kumuh. Masyarakat miskin yang ada di kota (urban poverty) mencari lahan baru untuk hidup survive. Kedua, perencanaan tata ruang versus perambahan ruang oleh sector informal. Kota mempunyai perencanaan tata ruang, tetapi tata ruang ini pula memberi dampak dimana masyarakat melakukan perluasan usaha-usaha bisnis, pedagang kaki lima. Perhatikan dimana ada pembangunan (perumahan, kampus, rumah sakit, perkantoran) akan diikuti dengan merambahnya restaurant-restorant kecil, usaha percetakan, penjual koran dan sebagainya. Ketiga, perencanaan tata ruang versus pembangunan oleh dunia usaha. Kota mempunyai perencanaan tata ruang tetapi para pebisnis dan dunia usaha juga melakukan aktivitas pembangunan. Keempat, perencanaan tata ruang versus pelaksanaan versus pengendalian. Dimensi yang terakhir ini, mungkin yang paling krusial. Sebetulnya dalam perencanaan tata ruang tata kota sudah melihat aspek-aspek sosial, lingkungan dan sebagainya tetapi mungkin ini yang paling bermasalah. Pelaksanaan dan pengendalian tidak jalan, aturannya jelas tetapi tidak jalan, tidak ada sanksi yang diberikan kepada orang-orang atau organisasi yang melanggar aturan tata ruang dan tata kota. Dampaknya kota akan menjadi lebih semrawut, relatif tidak dirasakan pada musim kemarau tetapi dampaknya bisa dirasakan dimusim hujan.

Oleh karena itu, paling tidak ada dua hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah kota yaitu kebijakan jangka pendek dan kebijakan jangka panjang. Dalam jangka pendek, lurah dan camat atas komando walikota harus turun lapangan menggerakkan masyarakat untuk menjamin dan memastikan tidak ada selokan-selokan yang tersumbat. Camat dan lurah berada pada garis terdepan dalam menggerakkan masyarakat. Masyarakat butuh diorganisir untuk membersihkan di masing-masing wilayahnya. Partisipasi masyarakat dapat tumbuh jika ada yang menggerakkan. Tidak ada kata terlambat  untuk tidak menjamin kebersihan kota. Pemerintah menfasilitasi apa yang menjadi kebutuhan camat dan lurah demikian pula masyarakat tingkat bawah. Kedua adalah mengantisipasi terjadinya wabah penyakit. Puskesmas, rumah sakit dan sarana pemberi pelayanan kesehatan lainnya harus siap dan tanggap untuk memberikan pelayanan yang maksimal. Paling tidak dua hal itu menjadi penting dalam kebijakan jangka pendek. Dalam jangka panjang, pemerintah kota harus menjadi pelaksana (executor) dan pengawas (controller) yang baik. Ketidaktegasan pemerintah kota dalam menata kota dan menjamin kebersihan kota akan semakin semrawut dan berantakan kota ini. Kota dunia bukan karena kota dipenuhi dengan bangunan-bangunan tinggi tetapi kota dibangun dimana masyarakat bisa hidup secara bersih, sehat, aman, dan damai. Makassar Kota Sehat (Makassar Healthy City) adalah salah satu esensi dari Makassar  Kota Dunia (Makassar World City), yaitu kota dimana jalanan bebas dari genangan banjir.

Thursday 17 November 2011

Healthy Cities di Indonesia: Political Tasks (Catatan Penghargaan Swasti Saba)


Pendekatan Kota Sehat (Healthy Cities Approach) nampaknya semakin penting dalam konteks perkembangan kota, urbanisasi dan industrialisasi mengingat implikasi kesehatan yang ditimbulkannya. Sejak WHO memperkenalkan konsep kota sehat di Indonesia pada tahun 1996, bersamaan dengan penetapan theme hari kesehatan sedunia yaitu Healthy Cities for better Life, saat ini hampir separuh dari jumlah kabupaten/kota di Indonesia telah mengembangkan kabupaten/kota sehat. Beberapa kabupaten/kota di Indonesia dapat mencapai penghargaan swasti saba tertinggi. Namun tidak sedikit pula kabupaten/kota yang gagal memenuhi kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri.

Konsep Swasti Saba
Dari penelusuran bahasa, Swasti Saba berasal dari Bahasa Sansekerta. Swasti artinya sehat sejahtera dan Saba artinya kota. Swasti Saba berarti kota sehat sejahtera. Dalam konteks Kota Sehat di Indonesia seperti yang diatur dalam Pedoman Penyelenggaran Kabupaten/Kota Sehat yang merupakan Peraturan Bersama Antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor 34/2005 dan Nomor 1138/MOH/PB/VIII/2005, pemerintah mengkategori ke dalam tiga tingkatan yaitu Swasti Saba Padapa (pemantapan), Swasti Saba Wiwerda (pembinaan) dan Swasti Saba Wistara (pengembangan). Untuk mencapai kriteria tersebut, sembilan tatanan kabupaten/kota sehat telah ditetapkan oleh pemerintah pusat yaitu kawasan pemukiman, sarana dan prasarana umum;  kawasan sarana lalu lintas tertib dan pelayanan transportasi; kawasan pertambangan sehat; kawasan hutan sehat; kawasan industri dan perkantoran sehat; kawasan pariwisata sehat; ketahanan pangan dan gizi; kehidupan masyarakat yang sehat yang mandiri; dan kehidupan sosial yang sehat. Kesembilan tatanan tersebut dapat dipilih oleh kabupaten/kota berdasarkan kemampuan, sumber daya dan kebutuhan pemerintah daerah dan masyarakat. 

Oleh karena itu, untuk kota yang mau mencapai Swasti Saba Padapa, maka  kabupaten/kota sekurang-kurangnya memilih 2 tatanan yaitu tatanan kawasan pemukiman, sarana dan prasarana umum; dan tatanan kehidupan masyarakat yang sehat yang mandiri. Kedua tatanan ini, nampaknya direkomendasikan kepada pemerintah kota yang ingin mengembangkan kota sehat dengan pertimbangan bahwa diawal perkembangan kota sehat di Indonesia banyak kota di Indonesia yang mendapat penghargaan kota sehat padahal kondisi lingkungan, kebersihan, angka kesakitan dan angka kematian, kejadian penyakit dan sebagainya masih sangat tinggi. Dengan pertimbangan itu, maka kedua tatanan (settings) ini adalah sangat esensial bagi kota yang mau mencapai tahap pemantapan. Berdasarkan hasil penilaian tim pusat (2009) beberapa kota di Indonesia yang termasuk dalam kategori ini  misalnya Kota Administratif Jakarta Timur, Kota Administratif Jakarta Selatan, Kota Cimahi, Kota Salatiga, Kota Jepara, Kota probolinggo, Kota Lombok Timur dan sebagainya.

Bagi kota yang ingin mendapatkan penghargaan Swasti Saba Wiwerda atau taraf pembinaan, maka pemerintah kota harus memilih 3-4 tatanan sementara kota yang ingin mendapatkan penghargaan Swasti Saba Wistara, kota harus memilih minimal 5 tatanan sesuai dengan potensi sumber daya setempat. Beberapa kota yang tercatat sebagai kota yang mendapatkan penghargaan Swasti Saba Wiwerda adalah misalnya Kota Administratif Jakarta Pusat, Kota Malang, Kota Kediri, Kota Mataram dan sebagainya, Sementara  Kota yang termasuk dengan kategori penghargaan Swasti Saba Wistara adalah Kota Yogyakarta, Kota Payakumbuh dan Kota Palopo. Program kota sehat dievaluasi setiap dua tahun, maka pencapaian penghargaan kota sehat sifatnya tidak konstan: bisa tetap, bisa meningkat atau justru sebaliknya, menurun. Beberapa kota di Indonesia yang menunjukkan grafik yang cukup bagus berdasarkan pencapaian prestasi Swasti Saba yaitu misalnya Kota Yogyakarta, Kota Makassar, dan Kota Palopo. Sementara beberapa kota yang pencapaiannya tetap misalnya Kota Kediri dan Kota Padang Sidempuan.

Political Tasks
Penulis pernah melakukan wawancara dengan salah satu staf senior di Kementerian Kesehatan, berkaitan dengan kebijakan implementasi kota sehat di Indonesia. Beberapa kota di Indonesia, katakanlah dengan sukses mengembangkan program Kota Sehat misalnya Yogyakarta dan Kota Palopo. Bahkan Palopo tercatat sebagai satu-satunya kabupaten/kota di Indonesia yang mempunyai Perda Kota Sehat. Lalu saya tanyakan, apa sebetulnya faktor yang dominant yang menyebabkan ada daerah yang cepat dan sukses mengembangkan Kota Sehat dan ada pula daerah yang lambat. Jawabnya adalah sederhana, kota sehat adalah tugas politik (political tasks). Implementasi kota sehat sangat bergantung pada kemaun politik (political will) dari para bupati dan walikota yang tentunya harus di back up oleh keputusan politik wakil-wakil rakyat di dewan.

Umumnya daerah yang sukses mengembangkan kota sehat mempunyai pimpinan daerah yang peduli dengan keadaan kesehatan dan lingkungan serta faktor-faktor yang mempengaruhi  kesehatan, demikian pula sebaliknya. Umumnya daerah yang sukses mengembangkan kota sehat mempunyai Bupati dan Walikota yang mempunyai visi yang kuat yang berpihak  pada rakyat dan keadaan kesehatan masyarakatnya. Daerah yang sukses mengembangkan kota sehat mempunyai Bupati dan Walikota yang membangun daerahnya dengan mempertimbangkan dampak-dampak kesehatan yang ditimbulkannya. Umumnya daerah yang sukses mengembangan kota sehat mempunyai bupati dan walikota yang peduli dengan pendidikan dan jaminan pemeliharaan kesehatan warganya. Umumnya daerah yang sukses mengembangkan Kota Sehat  mempunyai pimpinan daerah yang mau membiayai tatanan kota sehat secara utuh, dan sebagainya. Maka kepemimpinan adalah modal bagi pencapaian Kota Sehat.

Apa yang menjadi kesimpulan pandangan dari staf senior Kota Sehat di Kementerian Kesehatan tadi, sebetulnya juga sudah menjadi catatan oleh Duhl and Sanchez (1999) seperti yang ditulis dalam makalahnya Healthy Cities and the City Planning Process. Dalam kutipannya beliau menegaskan bahwa kesehatan bukan hanya issue sosial tetapi juga merupakan issue politik (we must remember that health is both a social issue and a political issue).  

Kerjasama Lintas Sektor
Program Kota Sehat adalah program lintas sektor. WHO telah menegaskan lebih awal bahwa kota sehat hanya bisa dicapai, jika sektor kesehatan dan sektor di luar dari Kementerian Kesehatan ikut memberi dukungan yang kuat dan terlibat secara aktif dalam pencapaian program kota sehat. Karena itu, tugas ini adalah tugas Kementerian dalam Negeri untuk memberi dukungan kuat kepada kementerian yang lain untuk terlibat dalam kebijakan kota sehat, demikian pula pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Posisi Kementerian Kesehatan dalam kebijakan Kota Sehat di Indonesia dalam kaitan dengan Peraturan Bersama Antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri paling tidak dapat dilihat dari dua aspek.

Pertama, Kementerian Kesehatan mendorong kementerian yang lain melalui Kementerian Dalam Negeri untuk terlibat mengembangkan kota sehat atau mempertimbangkan aspek-aspek kesehatan dalam setiap pengambilan kebijakan. Kementerian Dalam Negeri  pada tingkat pusat dan Bappeda pada tingkat kabupaten/kota mempunyai nilai tawar yang tinggi dan sangat strategis untuk mewujudkan program ini. Kedua, jika ditelaah lebih jauh sembilan tatanan kabupaten/kota sehat dalam peraturan bersama tersebut, maka sesungguhnya tugas kementerian kesehatan dan Dinas Kesehatan ditingkat provinsi dan kebupaten/kota hanya satu yaitu mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang sehat yang mandiri. Sementara tatanan yang lain menjadi tugas kementerian dan dinas yang lain misalnya kawasan pemukiman, sarana dan prasarana umum, penanggung jawab teknisnya adalah Dinas PU and Bapedalda. Kawasan sarana lalu lintas tertib dan pelayanan transportasi, penanggung jawab teknisnya adalah Dinas Perhubungan/DLLAJR dan sebagainya. Dari Sembilan tatanan kabupaten/kota sehat tersebut mempunyai peran dan tanggung jawab teknis yang berbeda. Kesemuanya bertujuan untuk mewujudkan kota sehat.

Karena itu, Swasti Saba dan implementasi Healthy Cities di Indonesia adalah sangat bergantung pada kemauan dan dukungan politik (political will and support) dari pemerintah daerah terutama para bupati dan walikota. Kerjasama lintas sektor adalah essensial. Dengan dukungan kebijakan para bupati dan walikota serta memperkuat kerjasama lintas sektor termasuk melibatkan NGOs, pihak perguruan tinggi, pihak swasta dan masyarakat secara keseluruhan, keadaan kesehatan yang lebih baik dapat diwujudkan.

Tuesday 25 October 2011

Analisis Epidemiology Dampak Kebijakan Kesehatan Gratis



Kebijakan kesehatan gratis  adalah salah satu jualan politik yang mengantarkan pasangan Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang (Sayang) memenangkan pemilihan gubernur Sulawesi Selatan periode 2008-2013. Dari aspek jumlah kunjungan pelayanan kesehatan dapat dipastikan bahwa sejak adanya program pelayanan kesehatan gratis, jumlah pasien yang memanfaatkan fasilitas pemerintah ini semakin meningkat. Demikian pula dengan alokasi anggaran kesehatan,  pemerintah telah menganggarkan dana yang tidak sedikit jumlahnya. Akan tetapi, sejak kurang lebih tiga tahun program kesehatan gratis ini berjalan, apakah pilihan kebijakan ini berkontribusi terhadap menurunnya angka kematian (mortality rate) dan meningkatnya Usia Harapan Hidup (Life Expectancy) belumlah ditelusuri lebih mendalam.  Angka kesakitan (morbidity rate) sebagai salah satu indikator kesehatan tidak dikaji dalam tulisan ini karena diasumsikan bahwa semua pengguna pelayanan kesehatan gratis adalah orang yang menderita sakit.

Analisis Epidemiology
Pendekatan epidemiology adalah salah satu alat untuk melihat indikator-indikator kesehatan berkaitan dengan manfaat yang diperoleh sejak adanya program pelayanan kesehatan gratis. Untuk mengukur tingkat efektifitas kebijakan pelayanan kesehatan gratis ini paling tidak ada dua indikator utama yang bisa dikaji yaitu angka kematian meliputi Angka Kematian Bayi (Infant Mortality Rate = IMR); Angka Kematian Balita (Children under Five Mortality Rate) dan Angka Kematian Ibu (Maternal Mortality Rate = MMR); dan Usia Harapan Hidup.
Pertama, Angka Kematian Bayi (AKB). Angka Kematian Bayi adalah banyaknya bayi yang meninggal sebelum mencapai usia satu tahun per 1000 kelahiran hidup pada tahun yang sama. Indikator Angka Kematian Bayi merupakan alat ukur yang paling sering digunakan untuk memonitor status kesehatan masyarakat suatu wilayah baik dalam kontek desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi atau pun dalam konteks sebuah negara. Kemampuan pemerintah menurunkan Angka Kematian Bayi ini memberikan gambaran keberhasilan pemerintah meningkatkan status kesehatan masyarakat dalam suatu wilayah. Demikian pula sebaliknya, semakin meningkatnya Angka Kematian Bayi, berarti kepedulian pemerintah atau pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah melihat kesehatan masih perlu dipertanyakan. Indikator Angka Kematian Bayi merefleksikan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan tempat tinggal anak-anak termasuk pemeliharaan kesehatannya.
Salah satu upaya pemerintah untuk mencapai target ini dimana Angka Kematian Bayi diharapkan dapat menurun adalah dengan adanya kebijakan kesehatan gratis. Namun, benarkah adanya kebijakan kesehatan gratis ini mampu menurunkan Angka Kematian Bayi khususnya di Sulawesi Selatan? Mari kita lihat data yang ada. Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan (2009) terdapat dua sumber data yang digunakan untuk melihat trend Angka Kematian Bayi yaitu data hasil survey/proyeksi dan data lapor berdasarkan hasil rekapitulasi dari masing-masing Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Meskipun pada saat itu belum dikenal istilah program pelayanan kesehatan gratis, tetapi kedua sumber data ini menggambarkan Angka Kematian Bayi dengan grafik menurun. Misalnya berdasarkan hasil survey/proyeksi  dari Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)/Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) jumlah kematian bayi pada tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar 41 per 1000 kelahiran hidup, dan tahun 2008 menurun drastis yaitu sebesar 27,52 per 1000 kelahiran hidup.

Selanjutnya, jika dilihat dari jumlah kematian bayi berdasarkan data yang dirangkum dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota  menunjukkan kecenderungan grafik yang hampir sama. Misalnya jumlah kematian bayi pada tahun 2006 sebanyak 566 bayi atau 4,32 per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2007 sempat mengalami peningkatan dengan angka kematian bayi sebanyak 709 bayi atau 4,61 per 1000 kelahiran hidup, namun pemerintah dapat menurunkan kembali pada tahun 2008 menjadi 638 atau 4,39 per 1000 kelahiran hidup.  Angka Kematin Bayi menurun tajam dari tahun 2008 sampai tahun 2009 menjadi 3.31 per 1000 kelahiran hidup. Meskipun tahun 2008-2009 adalah awal dari diterapkannya program kesehatan gratis, tetapi belum bisa ditarik kesimpulan bahwa menurunnya Angka Kematian Bayi secara significant disebabkan karena adanya kebijakan kesehatan gratis di Sulawesi Selatan karena trend Angka Kematian Bayi, juga cenderung terus menurun  sebelum penerapan kebijakan kesehatan gratis ini.

Kedua, Angka Kematian Balita (AKABA). Angka Kematian Balita adalah jumlah anak yang dilahirkan pada tahun tertentu dan meninggal sebelum mencapai usia lima tahun, dinyatakan dengan angka per 1000 kelahiran hidup. Angka Kematian Balita merefleksikan berbagai permasalahan kesehatan anak dan faktor lingkungan terhadap kesehatan anak balita di suatu daerah misalnya status gizi anak balita, keadaan sanitasi lingkungan, kejadian penyakit menular dan kecelakaan dan sebagainya. Indikator Angka Kematian balita seringkali digunakan untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan sosial dan kemiskinan penduduk. Sama halnya dengan data jumlah kematian bayi, jumlah kematian balita di Sulawesi Selatan juga dapat dirujuk dari dua sumber atau pendekatan yang berbeda yaitu data hasil survey/proyeksi Susenas/SDKI 2007 dan data hasil rekapitulasi. Baik data survey/proyeksi maupun data hasil rekapitulasi kedua-duanya menunjukkan bahwa jumlah kematian balita cenderung mengalami peningkatan (2006-2008). Misalnya berdasarkan hasil Susenas/SDKI jumlah kematian balita pada tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar 53 per 1000 kelahiran hidup sedangkan berdasarkan data hasil rekapitulasi jumlah kematin balita hanya sebesar 1,13 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2006; 1,33 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007 dan2,73 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2008. Meskipun kelihatan angka kematian balita relatif kecil tetapi dari sisi trend terjadi peningkatan terutama dalam periode 2006-2008, sebelum kebijakan kesehatan gratis diimplementasikan. Namun demikian, jika dilihat dari data kematian balita terutama diawal penerapan kebijakan kesehatan gratis (2008-2009) jumlah kematian balita secara significant cenderung menurun.  
            Ketiga, Angka Kematian Ibu (AKI).  Angka Kematian Ibu adalah banyaknya wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau penanganan selama masa kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas per 100.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Ibu memberikan gambaran tingkat kesadaran perilaku hidup sehat, status gizi dan pemeliharaan kesehatan ibu baik sebelum melahirkan,  saat melahirkan masa nifas. Jika merujuk data SDKI, jumlah kematian ibu pada tahun 2007 sebesar 248 per 100.000 kelahiran hidup. Jumlah ini cukup jauh menurun bila dibandingkan dengan dua puluh tahun yang lalu misalnya pada tahun 1986 dimana angka kematian ibu pada saat itu mencapai 450 per 100. 000 kelahiran hidup.
Jika merujuk data hasil rekapitulasi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menunjukkan bahwa terjadi penurunan Angka Kematian Ibu dari tahun ke tahun baik pada saat diterapkannya program pelayanan kesehatan gratis maupun pada saat sebelum adanya kebijakan pelayanan kesehatan gratis. Misalnya pada tahun 2006 jumlah kematian ibu sebesar 101,56 per 100.000 kelahiran hidup; tahun 2007 sebesar 92,89 per 100.000 kelahiran hidup dan 2008 sebesar 85,17 per 100.000 kelahiran hidup. Di awal diterapkannya kebijakan kesehatan gratis (2008-2009) jumlah kematian ibu terus menurun  yaitu 78,84 per 100.000 kelahiran hidup.
Berdasarkan indikator-indikator tersebut di atas, fakta menunjukkan bahwa setelah diterapkannya kebijakan kesehatan gratis di Sulawesi Selatan Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Balita maupun Angka Kematian Ibu misalnya terus menurun dan penurunannya sangat significant. Namun, belumlah dapat disimpulkan bahwa apakah penurunan Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Balita dan Angka Kematian Ibu disebabkan karena kebijakan kesehatan gratis. Fakta juga menunjukkan bahwa Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Balita dan Angka Kematian Ibu juga terus menurun pada saat sebelum diberlakukannya kebijakan ini.
            Keempat, Usia Harapan Hidup (UHH). Usia Harapan Hidup masyarakat Sulawesi Selatan terbilang panjang mengamati trend dari tahun ke tahun. Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan (2009) bahwa Usia Harapan Hidup masyarakat Sulawesi Selatan pernah hanya 43 tahun secara rata-rata yaitu terjadi pada tahun 1971. Namun, membandingkan Usia Harapan Hidup pada tahun 2000-an angka ini terus menunjukkan grafik yang significant. Misalnya Usia Harapan Hidup pada tahun 2006 yaitu 69,20 tahun, terus meningkat menjadi 69,40 tahun pada tahun 2007. Pada tahun 2008 Usia Harapan Hidup Sulawesi Selatan telah mencapai 70,28 tahun. Diprediksi Usia Harapan Hidup akan terus meningkat dan saat ini telah mencapai standard nasional yaitu 72, 26 tahun.
  
Determinant Kesehatan
Kebijakan pelayanan kesehatan gratis adalah salah satu bagian dari dimensi pelayanan kesehatan (health services) dengan tujuan untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat. Namun faktor pelayanan kesehatan itu mempunyai kontribusi yang relatif kecil dalam upaya kesehatan. Para ahli kesehatan berpendapat bahwa pelayanan kesehatan hanya berkontribusi 10-15% terhadap peningkatan status kesehatan masyarakat. Artinya, jika dilakukan dengan benar dan tepat sasaran, kebijakan pelayanan kesehatan gratis hanya berkontribusi sekitar 10-15% dari upaya kesehatan untuk mencapai status kesehatan masyarakat suatu wilayah yang lebih baik. Faktor-faktor lain yang sangat dominant adalah faktor lingkungan (environment) dan perilaku masyarakat (behavior/life style).  Karena itu, pendekatannya harus komprehensif, bangun kota-kota sehat (healthy cities) dan wilayah-wilayah sehat lainnya karena pendekatan ini terbukti efektif menciptakan lingkungan dan perilaku yang sehat. Komandan! Jangan habiskan anggaran hanya karena kebijakan pelayanan kesehatan gratis.

Tuesday 11 October 2011

Kesehatan Gratis: Don’t Stop Komandan


Meskipun Syahrul Yasin Limpo (SYL) sebagai incumbent belum menyatakan secara terbuka untuk maju pada pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan periode 2013-2018. Hampir bisa dipastikan  bahwa SYL sebagai pemenang pemilu periode lalu dengan tagline baru Don’t Stop Komandan, akan muncul kembali pada pemilihan gubernur yang akan datang. Ilham Arif Siradjuddin (IAS) dengan tagline Semangat Baru telah menyatakan secara terbuka akan menjadi penantang baru bagi Syahrul Yasin Limpo. Kemungkinan Aziz Qahar Muzakkar (AQM) akan naik ring kembali, maju untuk kedua kalinya. Salah satu program unggulan dari pasangan Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang yang lebih popular disingkat dengan Sayang yang mengantarkan berdua sebagai pemenang pemilu adalah Program Kesehatan Gratis.

Don’t Stop Komandan! Kesehatan Gratis harus dilanjutkan. Menurut penulis paling tidak ada tiga alasan. Pertama, kesehatan adalah hak dasar, hak fundamental bagi setiap orang (a fundamental human right). Pada tingkat internasional, secara implisit maupun ekspilist berbagai dokumen dan instrument yang berkaitan dengan jaminan hak atas kesehatan seseorang. Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pasal 25 menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, sakit , cacat, menjanda, usia lanjut atau mengalami kekurangan mata pencaharian yang lain dalam keadaan di luar kekuasaannya (Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family, including food, clothing, housing and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control). International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 6 menjelaskan hak untuk hidup (right to life) and Pasal 7 tentang memberantas penyiksaan dan lainnya, kekejaman, tindakan yang tidak manusiawi dan hukuman (combating torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment). Pasal 12 International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR) menjelaskan bahwa negara mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi (the right of everyone to the enjoyment of the highest attainable standard of physical and mental health).

Dilevel nasional, jaminan pengakuan hak atas kesehatan juga telah diatur dalam berbagai perundang-undangan. Amandemen Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan hak atas pelayanan kesehatan. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Bab III tentang Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia, Bagian Kesatu Hak untuk Hidup Pasal 9 ayat (1) yaitu setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya; ayat (2) setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin; dan ayat (3) setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 4 menyebutkan setiap orang berhak atas kesehatan, Pasal 5 ayat (1) menyebutkan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan, ayat (2) setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, ayat (3) setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Pasal 6 menyebutkan setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan. Pasal 7 menyebutkan setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab. Pasal 8 menyebutkan setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.

Pada tingkat provinsi terdapat Peraturan Daerah tentang Kesehatan Gratis yaitu Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kerjasama Penyelenggaran Pelayanan Kesehatan Gratis (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009  Nomor 2). Untuk mencapai akses pelayanan kesehatan yang optimal yang merata bagi seluruh rakyat, maka pemerintah wajib menjamin hak atas kesehatan warganya. Salah satu upaya untuk mewujudkan akses pelayanan kesehatan itu, maka pelayanan kesehatan gratis yang telah dirintis selama ini, sangat dan sangat diperlukan. Semua peraturan dan perundang-undangan seperti yang disebutkan di atas, menjadi argument kuat untuk melanjutkan pelayanan kesehatan gratis di Sulawesi Selatan dan Indonesia sekalipun secara keseluruhan.

Kedua, program pelayanan kesehatan gratis di Sulawesi Selatan yang dirintis oleh pasangan Sayang cukup fenomenal. Di awal pertarungan pemilihan gubernur periode yang lalu, tidak banyak calon bupati/walikota atau gubernur di Indonesia yang berani memprogramkan pelayanan kesehatan gratis. Program ini memang tidak mudah untuk diimplementasikan. Sangat diyakini hampir sebagian besar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) akan teralokasikan pada sektor kesehatan ini. Saat itu, pasangan Sayang telah berani menyatakan dengan tekad bulat dan sekaligus menyatakan dengan berani untuk membuat kontrak politik bagi masyarakat untuk mewujudkan akses pelayanan kesehatan yang lebih berkeadilan. Disini sangat kelihatan bagaimana kemauan politik yang kuat (strong political will) dari pasangan Sayang demi rakyat Sulawesi selatan yang lebih sehat. 

Dalam perjalanannya program pelayanan kesehatan gratis telah memberikan banyak manfaat bagi rakyat Sulawesi Selatan demikian pula pemerintah kabupaten/kota paling tidak dapat dilihat dari 2 aspek secara garis besar yaitu aspek pelayanan kesehatan dan  aspek pembiayaan kesehatan. Dari aspek pelayanan kesehatan dapat dilihat misalnya berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009 yaitu meningkatnya jumlah kunjungan Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) yaitu 4.139.570; Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP) yaitu 56.532 kunjungan; Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL) yaitu 349.921 kunjungan; Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL) 92.532 kunjungan dan jumlah pasien yang dirujuk dalam program pelayanan kesehatan gratis ini adalah 7.883 pasien. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa sejak dikembangkannya pelayanan kesehatan gratis maka semakin berfungsinya jenjang sistem rujukan Rumah Sakit di Provinsi dan kabupaten/kota, meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan rujukan Rumah Sakit, dan meningkatnya pemerataan pelayanan kesehatan rujukan sampai ke daerah terpencil dan daerah miskin. Dari aspek pembiayaan, pemerintah Sulawesi Selatan telah mengalokasikan anggaran yang tidak sedikit demi rakyat Sulawesi Selatan yang lebih sehat dan lebih maju. Pada tahun 2008 diawal pemerintahan Sayang telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 81.794.451.410; tahun 2009 sebesar Rp. 93.511.897.034; dan tahun 2010 sebesar Rp. 103.432.900.476.

Alasan ketiga mengapa Komandan Kesehatan Gratis harus berlanjut? Pergantian pimpinan pada semua level seringkali diikuti dengan berubahnya kebijakan, pemimpin berubah kebijakan berubah termasuk kemungkinan pelayanan kesehatan gratis. Lima tahun pertama pelaksanaan program kesehatan gratis meskipun telah dibuat aturan berupa Perda yang bisa mengikat semua pihak dalam pengimplementasian program ini, tetapi diibaratkan sebagai sebatang pohon, akarnya baru tumbuh dan masih mudah dicabut. Lima tahun pertama belum dirasa cukup dan manfaatnya pun belum dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Dengan demikian, maka 5 tahun kedua atau 10 tahun  pertama dalam pelaksanaan program kesehatan gratis dianggap sudah mempunyai akar tunggang yang cukup yang relative sudah sulit dicabut karena telah mengakar pada level masyarakat bawah. Sangat dikhawatirkan program playanan kesehatan gratis berhenti di tengah jalan hanya karena alasan politik semata. Maka jaminan keberlanjutan program (sustainable free health services)menjadi sangat penting.

Kesehatan Gratis: Perlu Perbaikan
Terlepas dari manfaat yang diperoleh sejak adanya program kesehatan gratis di Sulawesi Selatan, masih terdapat beberapa tantangan yang menuntut perhatian serius bagi pemerintah provinsi. Pertama, seringkali kita masih dengar dan kita jumpai adanya keluhan masyarakat terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah terutama petugas pelayanan kesehatan untuk bisa memberikan senyuman yang sama pada semua pasien tanpa harus membedakan status sosial dan kemampuan ekonomi pasien. Kedua, dampak dari program kesehatan gratis ini adalah semakin meningkatnya jumlah kunjungan pasien. Implikasinya, beban petugas kesehatan semakin meningkat pula sementara belum diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan petugas kesehatan yang lebih memadai. Ketiga, berapa pun besar alokasi anggaran kesehatan yang diberikan oleh pemerintah untuk membiayai orang sakit akan habis. Karena itu, pendekatan pelayanan kesehatan gratis harus comprehensive. Pendekatan Puskesmas Sehat, Rumah Sakit Sehat dan sarana pelayanan kesehatan yang sehat lainnya menjadi sebuah pendekatan yang efektif untuk mendorong kondisi kesehatan masyarakat yang lebih optimal. Dengan mempertimbangkan semua itu, maka SYL (Sayang), dipandang sangat dan sangat layak untuk menahkodai Sulawesi Selatan dalam lima tahun kedua. Don’t Stop Komandan: Kesehatan gratis harus dilanjutkan!