Tuesday 25 October 2011

Analisis Epidemiology Dampak Kebijakan Kesehatan Gratis



Kebijakan kesehatan gratis  adalah salah satu jualan politik yang mengantarkan pasangan Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang (Sayang) memenangkan pemilihan gubernur Sulawesi Selatan periode 2008-2013. Dari aspek jumlah kunjungan pelayanan kesehatan dapat dipastikan bahwa sejak adanya program pelayanan kesehatan gratis, jumlah pasien yang memanfaatkan fasilitas pemerintah ini semakin meningkat. Demikian pula dengan alokasi anggaran kesehatan,  pemerintah telah menganggarkan dana yang tidak sedikit jumlahnya. Akan tetapi, sejak kurang lebih tiga tahun program kesehatan gratis ini berjalan, apakah pilihan kebijakan ini berkontribusi terhadap menurunnya angka kematian (mortality rate) dan meningkatnya Usia Harapan Hidup (Life Expectancy) belumlah ditelusuri lebih mendalam.  Angka kesakitan (morbidity rate) sebagai salah satu indikator kesehatan tidak dikaji dalam tulisan ini karena diasumsikan bahwa semua pengguna pelayanan kesehatan gratis adalah orang yang menderita sakit.

Analisis Epidemiology
Pendekatan epidemiology adalah salah satu alat untuk melihat indikator-indikator kesehatan berkaitan dengan manfaat yang diperoleh sejak adanya program pelayanan kesehatan gratis. Untuk mengukur tingkat efektifitas kebijakan pelayanan kesehatan gratis ini paling tidak ada dua indikator utama yang bisa dikaji yaitu angka kematian meliputi Angka Kematian Bayi (Infant Mortality Rate = IMR); Angka Kematian Balita (Children under Five Mortality Rate) dan Angka Kematian Ibu (Maternal Mortality Rate = MMR); dan Usia Harapan Hidup.
Pertama, Angka Kematian Bayi (AKB). Angka Kematian Bayi adalah banyaknya bayi yang meninggal sebelum mencapai usia satu tahun per 1000 kelahiran hidup pada tahun yang sama. Indikator Angka Kematian Bayi merupakan alat ukur yang paling sering digunakan untuk memonitor status kesehatan masyarakat suatu wilayah baik dalam kontek desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi atau pun dalam konteks sebuah negara. Kemampuan pemerintah menurunkan Angka Kematian Bayi ini memberikan gambaran keberhasilan pemerintah meningkatkan status kesehatan masyarakat dalam suatu wilayah. Demikian pula sebaliknya, semakin meningkatnya Angka Kematian Bayi, berarti kepedulian pemerintah atau pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah melihat kesehatan masih perlu dipertanyakan. Indikator Angka Kematian Bayi merefleksikan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan tempat tinggal anak-anak termasuk pemeliharaan kesehatannya.
Salah satu upaya pemerintah untuk mencapai target ini dimana Angka Kematian Bayi diharapkan dapat menurun adalah dengan adanya kebijakan kesehatan gratis. Namun, benarkah adanya kebijakan kesehatan gratis ini mampu menurunkan Angka Kematian Bayi khususnya di Sulawesi Selatan? Mari kita lihat data yang ada. Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan (2009) terdapat dua sumber data yang digunakan untuk melihat trend Angka Kematian Bayi yaitu data hasil survey/proyeksi dan data lapor berdasarkan hasil rekapitulasi dari masing-masing Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Meskipun pada saat itu belum dikenal istilah program pelayanan kesehatan gratis, tetapi kedua sumber data ini menggambarkan Angka Kematian Bayi dengan grafik menurun. Misalnya berdasarkan hasil survey/proyeksi  dari Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)/Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) jumlah kematian bayi pada tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar 41 per 1000 kelahiran hidup, dan tahun 2008 menurun drastis yaitu sebesar 27,52 per 1000 kelahiran hidup.

Selanjutnya, jika dilihat dari jumlah kematian bayi berdasarkan data yang dirangkum dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota  menunjukkan kecenderungan grafik yang hampir sama. Misalnya jumlah kematian bayi pada tahun 2006 sebanyak 566 bayi atau 4,32 per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2007 sempat mengalami peningkatan dengan angka kematian bayi sebanyak 709 bayi atau 4,61 per 1000 kelahiran hidup, namun pemerintah dapat menurunkan kembali pada tahun 2008 menjadi 638 atau 4,39 per 1000 kelahiran hidup.  Angka Kematin Bayi menurun tajam dari tahun 2008 sampai tahun 2009 menjadi 3.31 per 1000 kelahiran hidup. Meskipun tahun 2008-2009 adalah awal dari diterapkannya program kesehatan gratis, tetapi belum bisa ditarik kesimpulan bahwa menurunnya Angka Kematian Bayi secara significant disebabkan karena adanya kebijakan kesehatan gratis di Sulawesi Selatan karena trend Angka Kematian Bayi, juga cenderung terus menurun  sebelum penerapan kebijakan kesehatan gratis ini.

Kedua, Angka Kematian Balita (AKABA). Angka Kematian Balita adalah jumlah anak yang dilahirkan pada tahun tertentu dan meninggal sebelum mencapai usia lima tahun, dinyatakan dengan angka per 1000 kelahiran hidup. Angka Kematian Balita merefleksikan berbagai permasalahan kesehatan anak dan faktor lingkungan terhadap kesehatan anak balita di suatu daerah misalnya status gizi anak balita, keadaan sanitasi lingkungan, kejadian penyakit menular dan kecelakaan dan sebagainya. Indikator Angka Kematian balita seringkali digunakan untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan sosial dan kemiskinan penduduk. Sama halnya dengan data jumlah kematian bayi, jumlah kematian balita di Sulawesi Selatan juga dapat dirujuk dari dua sumber atau pendekatan yang berbeda yaitu data hasil survey/proyeksi Susenas/SDKI 2007 dan data hasil rekapitulasi. Baik data survey/proyeksi maupun data hasil rekapitulasi kedua-duanya menunjukkan bahwa jumlah kematian balita cenderung mengalami peningkatan (2006-2008). Misalnya berdasarkan hasil Susenas/SDKI jumlah kematian balita pada tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar 53 per 1000 kelahiran hidup sedangkan berdasarkan data hasil rekapitulasi jumlah kematin balita hanya sebesar 1,13 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2006; 1,33 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007 dan2,73 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2008. Meskipun kelihatan angka kematian balita relatif kecil tetapi dari sisi trend terjadi peningkatan terutama dalam periode 2006-2008, sebelum kebijakan kesehatan gratis diimplementasikan. Namun demikian, jika dilihat dari data kematian balita terutama diawal penerapan kebijakan kesehatan gratis (2008-2009) jumlah kematian balita secara significant cenderung menurun.  
            Ketiga, Angka Kematian Ibu (AKI).  Angka Kematian Ibu adalah banyaknya wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau penanganan selama masa kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas per 100.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Ibu memberikan gambaran tingkat kesadaran perilaku hidup sehat, status gizi dan pemeliharaan kesehatan ibu baik sebelum melahirkan,  saat melahirkan masa nifas. Jika merujuk data SDKI, jumlah kematian ibu pada tahun 2007 sebesar 248 per 100.000 kelahiran hidup. Jumlah ini cukup jauh menurun bila dibandingkan dengan dua puluh tahun yang lalu misalnya pada tahun 1986 dimana angka kematian ibu pada saat itu mencapai 450 per 100. 000 kelahiran hidup.
Jika merujuk data hasil rekapitulasi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menunjukkan bahwa terjadi penurunan Angka Kematian Ibu dari tahun ke tahun baik pada saat diterapkannya program pelayanan kesehatan gratis maupun pada saat sebelum adanya kebijakan pelayanan kesehatan gratis. Misalnya pada tahun 2006 jumlah kematian ibu sebesar 101,56 per 100.000 kelahiran hidup; tahun 2007 sebesar 92,89 per 100.000 kelahiran hidup dan 2008 sebesar 85,17 per 100.000 kelahiran hidup. Di awal diterapkannya kebijakan kesehatan gratis (2008-2009) jumlah kematian ibu terus menurun  yaitu 78,84 per 100.000 kelahiran hidup.
Berdasarkan indikator-indikator tersebut di atas, fakta menunjukkan bahwa setelah diterapkannya kebijakan kesehatan gratis di Sulawesi Selatan Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Balita maupun Angka Kematian Ibu misalnya terus menurun dan penurunannya sangat significant. Namun, belumlah dapat disimpulkan bahwa apakah penurunan Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Balita dan Angka Kematian Ibu disebabkan karena kebijakan kesehatan gratis. Fakta juga menunjukkan bahwa Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Balita dan Angka Kematian Ibu juga terus menurun pada saat sebelum diberlakukannya kebijakan ini.
            Keempat, Usia Harapan Hidup (UHH). Usia Harapan Hidup masyarakat Sulawesi Selatan terbilang panjang mengamati trend dari tahun ke tahun. Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan (2009) bahwa Usia Harapan Hidup masyarakat Sulawesi Selatan pernah hanya 43 tahun secara rata-rata yaitu terjadi pada tahun 1971. Namun, membandingkan Usia Harapan Hidup pada tahun 2000-an angka ini terus menunjukkan grafik yang significant. Misalnya Usia Harapan Hidup pada tahun 2006 yaitu 69,20 tahun, terus meningkat menjadi 69,40 tahun pada tahun 2007. Pada tahun 2008 Usia Harapan Hidup Sulawesi Selatan telah mencapai 70,28 tahun. Diprediksi Usia Harapan Hidup akan terus meningkat dan saat ini telah mencapai standard nasional yaitu 72, 26 tahun.
  
Determinant Kesehatan
Kebijakan pelayanan kesehatan gratis adalah salah satu bagian dari dimensi pelayanan kesehatan (health services) dengan tujuan untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat. Namun faktor pelayanan kesehatan itu mempunyai kontribusi yang relatif kecil dalam upaya kesehatan. Para ahli kesehatan berpendapat bahwa pelayanan kesehatan hanya berkontribusi 10-15% terhadap peningkatan status kesehatan masyarakat. Artinya, jika dilakukan dengan benar dan tepat sasaran, kebijakan pelayanan kesehatan gratis hanya berkontribusi sekitar 10-15% dari upaya kesehatan untuk mencapai status kesehatan masyarakat suatu wilayah yang lebih baik. Faktor-faktor lain yang sangat dominant adalah faktor lingkungan (environment) dan perilaku masyarakat (behavior/life style).  Karena itu, pendekatannya harus komprehensif, bangun kota-kota sehat (healthy cities) dan wilayah-wilayah sehat lainnya karena pendekatan ini terbukti efektif menciptakan lingkungan dan perilaku yang sehat. Komandan! Jangan habiskan anggaran hanya karena kebijakan pelayanan kesehatan gratis.

Tuesday 11 October 2011

Kesehatan Gratis: Don’t Stop Komandan


Meskipun Syahrul Yasin Limpo (SYL) sebagai incumbent belum menyatakan secara terbuka untuk maju pada pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan periode 2013-2018. Hampir bisa dipastikan  bahwa SYL sebagai pemenang pemilu periode lalu dengan tagline baru Don’t Stop Komandan, akan muncul kembali pada pemilihan gubernur yang akan datang. Ilham Arif Siradjuddin (IAS) dengan tagline Semangat Baru telah menyatakan secara terbuka akan menjadi penantang baru bagi Syahrul Yasin Limpo. Kemungkinan Aziz Qahar Muzakkar (AQM) akan naik ring kembali, maju untuk kedua kalinya. Salah satu program unggulan dari pasangan Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang yang lebih popular disingkat dengan Sayang yang mengantarkan berdua sebagai pemenang pemilu adalah Program Kesehatan Gratis.

Don’t Stop Komandan! Kesehatan Gratis harus dilanjutkan. Menurut penulis paling tidak ada tiga alasan. Pertama, kesehatan adalah hak dasar, hak fundamental bagi setiap orang (a fundamental human right). Pada tingkat internasional, secara implisit maupun ekspilist berbagai dokumen dan instrument yang berkaitan dengan jaminan hak atas kesehatan seseorang. Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pasal 25 menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, sakit , cacat, menjanda, usia lanjut atau mengalami kekurangan mata pencaharian yang lain dalam keadaan di luar kekuasaannya (Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family, including food, clothing, housing and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control). International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 6 menjelaskan hak untuk hidup (right to life) and Pasal 7 tentang memberantas penyiksaan dan lainnya, kekejaman, tindakan yang tidak manusiawi dan hukuman (combating torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment). Pasal 12 International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR) menjelaskan bahwa negara mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi (the right of everyone to the enjoyment of the highest attainable standard of physical and mental health).

Dilevel nasional, jaminan pengakuan hak atas kesehatan juga telah diatur dalam berbagai perundang-undangan. Amandemen Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan hak atas pelayanan kesehatan. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Bab III tentang Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia, Bagian Kesatu Hak untuk Hidup Pasal 9 ayat (1) yaitu setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya; ayat (2) setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin; dan ayat (3) setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 4 menyebutkan setiap orang berhak atas kesehatan, Pasal 5 ayat (1) menyebutkan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan, ayat (2) setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, ayat (3) setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Pasal 6 menyebutkan setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan. Pasal 7 menyebutkan setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab. Pasal 8 menyebutkan setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.

Pada tingkat provinsi terdapat Peraturan Daerah tentang Kesehatan Gratis yaitu Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kerjasama Penyelenggaran Pelayanan Kesehatan Gratis (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009  Nomor 2). Untuk mencapai akses pelayanan kesehatan yang optimal yang merata bagi seluruh rakyat, maka pemerintah wajib menjamin hak atas kesehatan warganya. Salah satu upaya untuk mewujudkan akses pelayanan kesehatan itu, maka pelayanan kesehatan gratis yang telah dirintis selama ini, sangat dan sangat diperlukan. Semua peraturan dan perundang-undangan seperti yang disebutkan di atas, menjadi argument kuat untuk melanjutkan pelayanan kesehatan gratis di Sulawesi Selatan dan Indonesia sekalipun secara keseluruhan.

Kedua, program pelayanan kesehatan gratis di Sulawesi Selatan yang dirintis oleh pasangan Sayang cukup fenomenal. Di awal pertarungan pemilihan gubernur periode yang lalu, tidak banyak calon bupati/walikota atau gubernur di Indonesia yang berani memprogramkan pelayanan kesehatan gratis. Program ini memang tidak mudah untuk diimplementasikan. Sangat diyakini hampir sebagian besar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) akan teralokasikan pada sektor kesehatan ini. Saat itu, pasangan Sayang telah berani menyatakan dengan tekad bulat dan sekaligus menyatakan dengan berani untuk membuat kontrak politik bagi masyarakat untuk mewujudkan akses pelayanan kesehatan yang lebih berkeadilan. Disini sangat kelihatan bagaimana kemauan politik yang kuat (strong political will) dari pasangan Sayang demi rakyat Sulawesi selatan yang lebih sehat. 

Dalam perjalanannya program pelayanan kesehatan gratis telah memberikan banyak manfaat bagi rakyat Sulawesi Selatan demikian pula pemerintah kabupaten/kota paling tidak dapat dilihat dari 2 aspek secara garis besar yaitu aspek pelayanan kesehatan dan  aspek pembiayaan kesehatan. Dari aspek pelayanan kesehatan dapat dilihat misalnya berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009 yaitu meningkatnya jumlah kunjungan Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) yaitu 4.139.570; Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP) yaitu 56.532 kunjungan; Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL) yaitu 349.921 kunjungan; Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL) 92.532 kunjungan dan jumlah pasien yang dirujuk dalam program pelayanan kesehatan gratis ini adalah 7.883 pasien. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa sejak dikembangkannya pelayanan kesehatan gratis maka semakin berfungsinya jenjang sistem rujukan Rumah Sakit di Provinsi dan kabupaten/kota, meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan rujukan Rumah Sakit, dan meningkatnya pemerataan pelayanan kesehatan rujukan sampai ke daerah terpencil dan daerah miskin. Dari aspek pembiayaan, pemerintah Sulawesi Selatan telah mengalokasikan anggaran yang tidak sedikit demi rakyat Sulawesi Selatan yang lebih sehat dan lebih maju. Pada tahun 2008 diawal pemerintahan Sayang telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 81.794.451.410; tahun 2009 sebesar Rp. 93.511.897.034; dan tahun 2010 sebesar Rp. 103.432.900.476.

Alasan ketiga mengapa Komandan Kesehatan Gratis harus berlanjut? Pergantian pimpinan pada semua level seringkali diikuti dengan berubahnya kebijakan, pemimpin berubah kebijakan berubah termasuk kemungkinan pelayanan kesehatan gratis. Lima tahun pertama pelaksanaan program kesehatan gratis meskipun telah dibuat aturan berupa Perda yang bisa mengikat semua pihak dalam pengimplementasian program ini, tetapi diibaratkan sebagai sebatang pohon, akarnya baru tumbuh dan masih mudah dicabut. Lima tahun pertama belum dirasa cukup dan manfaatnya pun belum dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Dengan demikian, maka 5 tahun kedua atau 10 tahun  pertama dalam pelaksanaan program kesehatan gratis dianggap sudah mempunyai akar tunggang yang cukup yang relative sudah sulit dicabut karena telah mengakar pada level masyarakat bawah. Sangat dikhawatirkan program playanan kesehatan gratis berhenti di tengah jalan hanya karena alasan politik semata. Maka jaminan keberlanjutan program (sustainable free health services)menjadi sangat penting.

Kesehatan Gratis: Perlu Perbaikan
Terlepas dari manfaat yang diperoleh sejak adanya program kesehatan gratis di Sulawesi Selatan, masih terdapat beberapa tantangan yang menuntut perhatian serius bagi pemerintah provinsi. Pertama, seringkali kita masih dengar dan kita jumpai adanya keluhan masyarakat terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah terutama petugas pelayanan kesehatan untuk bisa memberikan senyuman yang sama pada semua pasien tanpa harus membedakan status sosial dan kemampuan ekonomi pasien. Kedua, dampak dari program kesehatan gratis ini adalah semakin meningkatnya jumlah kunjungan pasien. Implikasinya, beban petugas kesehatan semakin meningkat pula sementara belum diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan petugas kesehatan yang lebih memadai. Ketiga, berapa pun besar alokasi anggaran kesehatan yang diberikan oleh pemerintah untuk membiayai orang sakit akan habis. Karena itu, pendekatan pelayanan kesehatan gratis harus comprehensive. Pendekatan Puskesmas Sehat, Rumah Sakit Sehat dan sarana pelayanan kesehatan yang sehat lainnya menjadi sebuah pendekatan yang efektif untuk mendorong kondisi kesehatan masyarakat yang lebih optimal. Dengan mempertimbangkan semua itu, maka SYL (Sayang), dipandang sangat dan sangat layak untuk menahkodai Sulawesi Selatan dalam lima tahun kedua. Don’t Stop Komandan: Kesehatan gratis harus dilanjutkan!

Sunday 9 October 2011

Majulah Professor-ku, Majulah Indonesia-ku


Kamis, 6 October 2011 yang lalu di CESDI (Centre of Excellence for Sustainable Development for Indonesia), sebuah kantor Indonesia di Griffith University, Australia tiba-tiba muncul diskusi informal tentang guru besar kita. Hadir pada saat itu beberapa mahasiswa PhD dari berbagai latar belakang ilmu dan juga beberapa professor Indonesia yang sedang mengambil PAR (Program Academic Recharging) di Griffith University. Diskusi kecil ini lahir sebagai response para akademisi Indonesia yang sedang menuntut ilmu di luar negeri mengingat adanya beberapa kasus berkaitan dengan syarat pengajuan professor dan tindakan-tindakan plagiat atau penjiplakan  (plagiarism) seperti yang diberitakan oleh berbagai media tanah air beberapa waktu yang lalu.

Apa Professor itu?
Pengertian professor bisa berbeda antara satu negara dengan negara yang lain. Secara harfiah, profesor berasal dari bahasa Latin sebagai "orang yang mengaku – a person who professes" biasanya seorang ahli dalam seni atau ilmu atau seorang guru yang berpengetahuan atau berpangkat yang tinggi. Di negara-negara yang sebagian besar berbahasa Inggris, profesor diperuntukkan untuk para akademisi senior yang memegang pimpinan departemen di perguruan tinggi, atau pimpinan khusus yang diberikan kepada individu di universitas.  Di negara-negara di daratan Eropa, seperti Perancis, Jerman, Spanyol, Italia, Belanda dan negara-negara Skandinavia, penggunaan  gelar profesor sebagai title atau panggilan resmi sama seperti di sebagian besar negara-negara persemakmuran, diperuntukkan  untuk seseorang yang memegang kursi atau pimpinan.

Di Portugal, Perancis, Rumania dan Amerika Latin (Spanyol-dan Portugis), istilah profesor (dosen / profesor / Professeur / profesor) digunakan untuk  siapa saja yang mengajar di sekolah, institut, sekolah teknik, sekolah kejuruan, perguruan tinggi, atau universitas, terlepas dari tingkat materi pelajaran yang diajarkan atau tingkatan usia siswa. Istilah professor juga diperuntukkan bagi para instruktur pada sekolah dasar, sekolah menengah, dan sekolah tinggi. Dengan demikian, semua guru dan dosen dipanggil sebagai professor. Namun, ketika profesor mengajar di sebuah universitas, maka mereka secara khusus disebut "professor universitas".

Dalam konteks Indonesia seperti yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1, professor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang mengajar di lingkungan satuan pendidikan yaitu kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal dalam setiap jenjang dan jenis pendidikan. Professor itu adalah dosen yang telah melewati seluruh jabatan fungsional atau akademik di perguruan tinggi bersangkutan setelah lektor kepala, lektor dan asisten ahli.

Bagaimana Ciri-Ciri Professor?
Dulu seorang professor itu bisa diidentifikasi secara fisik. Misalnya pertama, kepalanya botak. Kalau ketemu orang botak terutama di kampus-kampus di perguruan tinggi, bisa dipastikan bahwa dia adalah seorang professor. Semakin botak seseorang semakin senior ke-professoran-nya. Kedua, pelupa. Kalau tidak pelupa bukan professor, lupa kacamatanya, dan lupa istrinya. Professor lupa kalau tadi waktu ke mal beliau berangkat bersama dengan istrinya dan pulang sendiri karena lupa istrinya, itulah professor. Seorang professor lagi sedang mengajar. Karena matanya sudah agak rabun-rabun, maka dicarilah kacamatanya. Dia cari kacamatanya dan tidak ditemukan-temukan. Bertanyalah sang professor mana kacamata saya ya? mahasiswa serentak menjawab kacamatanya itu prof (panggilan professor) lagi sedang dipakai. Professornya bilang iya ya, lupa kalau saya sedang pakai kacamata, itulah professor kita, dulu.

Namun, kini ciri-ciri itu sudah tidak ada lagi, menjadi professor tidak mesti botak dan tidak mesti pelupa. Sekarang ada banyak orang yang botak dan pelupa bukan karena dia seorang professor, dia adalah seorang pedagang, sopir taksi, tukang cukur, politisi dan sebagainya. Saat ini dengan berubahnya kebijakan pendidikan nasional banyak professor-professor muda yang tidak botak dan juga bukan pelupa. Botak dan pelupa bukan lagi menjadi ciri ke-professor-an seseorang.
  
Mengapa Orang Mau Jadi Professor?
Professor itu adalah status. Paling tidak ada dua aspek: status akademik dan status social. Siapa sih yang tidak mau mencapai status akademik yang paling tinggi ini. Menurut penulis semua orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan mengharapkan sampai pada level ini. Ini adalah jenjang atau status jabatan akademik tertinggi di perguruan tinggi. Akan tetapi ada juga orang yang mau menjadi professor bukan semata karena jabatan akademik tadi tetapi lebih ke aspek sosialnya. Aspek social ini bisa muncul secara bersamaan dengan aspek akademik tadi tetapi juga bisa terjadi sebagai implikasi dari jabatan akademik tadi. Menyebut Professor A, rasanya enak didengar ketimbang hanya menyebut Pak “A”. Mari Prof (panggilan professor), duduk disini, kedengaran lebih sopan ketimbang memanggil mari pak duduk disini. Panggilan professor ini terus melekat pada dirinya meskipun sebetulnya tidak berhak lagi misalnya seorang professor yang menduduki jabatan politik (bupati, walikota, gubernur dan seterusnya), masih sering dipanggil sebagai seorang professor meskipun sudah tidak berhak lagi. Seorang professor yang sudah pension, masih dipanggil sama mahasiswanya sebagai seorang professor. Panggilan professor telah melekat adanya. Alasan lain, dulu professor tidak terlalu tinggi gaji professornya, sehingga orang juga malas untuk mengurus jadi professor, ngapain jadi professor dengan gaji yang rendah. Setelah ada kebijakan pemerintah yang baru dimana seorang professor bisa mendapatkan gaji 10-15 juta per bulan, maka banyak dosen yang berminat untuk menjadi professor.

Apa Syarat Menjadi Professor?
Syarat menjadi professor sangat jelas kriterianya misalnya (1). yang dapat diusulkan adalah dosen pada program pendidikan akademik yang diselenggarakan di sekoleh tinggi, institut dan universitas, (2). Memiliki jenjang jabatan fungsional akademik sekurang-kurangnya leckor berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 59/MENPAN/1987, (3). Memiliki gelar doktor dan atau gelar doktor kehormatan (Doktor Honoris Causa) yang diakui Departemen PendidikanNasional, (4). Mempunyai kemampuan membimbing mahasiswa Program Doktor, (5). Bagi yang tidak bergelar doktor harus memiliki jenjang jabatan fungsional lektor kepala dan kemampuan membimbing mahasiswa Program Doktor dapat ditunjukkan dengan salah satu atau lebih hal berikut yang diperoleh selama masa karirnya: misalnya mempunyai karya ilmiah berbobot sebagai penulis utama yang dipublikasi-kan sekurang-kurangnya empat karya ilmiah dalam jurnal ilmiah internasional atau sekurang-kurangnya delapan karya ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah nasional terakreditasi atau sekurang-kurangnya telah menghasilkan dua hak paten yang diakui departemen pendidikan nasional dinilai sama dengan karya ilmiah publikasi nasional. Kedua adalah karya monumental yang mendapat pengakuan nasional dan atau international. Untuk bidang tertentu karya monumental dapat menggantikan karya ilmiah publikasi baik nasional maupun internasional.

Itu adalah sejumlah kriteria yang dianggap relative terukur untuk diajukan sebagai calon professor akan tetapi dalam banyak fakta ada faktor-faktor “X’ yang kadang kala dianggap menjadi penghambat seseorang untuk diajukan sebagai calon professor. Sebagai contoh, seorang dosen di salah satu universitas terkemuka di Indonesia, dia telah memenuhi hamper semua persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional dari aspek karya ilmiah, dedikasi terhadap fakultas dan universitas, dan persyaratan-persayaratan lainnya yang menunjang seseorang untuk menjadi seorang guru besar. Namun, ada faktor yang menghambat yang dianggap beliau tidak layak untuk menjadi seorang professor. Apa itu? Yang bersangkutan mempunyai istri lebih dari satu dan ini dianggap yang bersangkutan tidak memenuhi syarat sebagai seorang guru besar. Apakah memang harus begitu? Bagaimana syarat ideal yang sebetulnya dianggap layak seseorang berhak untuk menjadi professor? Termasuk orang seperti apa yang menilai kelayakan seseorang untuk mereka bisa mengatakan si “A” layak menjadi guru besar dan si “B” tidak layak untuk mencapai predikat itu? Atau kah dalam perputaran waktu seperti apa yang kemudian bisa terjadi si “A” dianggap tidak layak menjadi guru besar tetapi dalam putaran waktu yang berbeda si “A” pada akhirnya layak menjadi guru besar, masih menjadi perdebatan. 

Bagaimana Pengklasifikasian Professor?
Setiap negara menganut system yang berbeda dalam pengklasifikasian professor. Ada yang membagi professor kedalam empat tingkatan yaitu assistant professor; associate professor; professor; dan distinguished professor. Assistant professor adalah seorang profesor tingkat dasar. Professor dalam level ini diperoleh setelah menyelesaikan PhD dan atau postdoctoral program. Associate profesor adalah professor level menengah artinya professor ini juga relative sudah lama menyelesaikan program PhD nya, namun belum juga dapat dikatakan sebagai professor penuh. Professor atau biasanya merujuk untuk professor penuh, biasanya para senior dan sudah lama mengabdi berhak memperoleh gelar profesor (professor penuh). Terakhir adalah distinguished profesor yaitu sebuah posisi kehormatan di mana gaji seorang profesor penuh meningkat dan menjadi terikat ke sebuah dana abadi yang berasal dari universitas, individu pribadi, perusahaan, atau pun yayasan. Di Brazil dan Portugal, professor dibagi atas 6 klasifikasi. Pertama, Professor Catedratico (Portugal) dan Professor Titular (Brazil), ini adalah professor penuh dan merupakan professor tertinggi di universitas. Kedua, Associate Professor. Di Portugal, posisi ini terbuka untuk publik di antara assistant profesor dan orang-orang PhD yang setidaknya telah selesai dalam 5 tahun terakhir. Di Brazil, itu mengacu pada seorang anggota fakultas yang telah menyelesaikan tesis dan pemeriksaan umum. Ketiga, Adjunct Profesor, adalah posisi tengah antara profesor dan asisten, membutuhkan PhD. Keempat, Profesor Auxiliar (Portugal dan Brasil). Profesor hanya membutuhkan Master di awal nya/karirnya. Di Portugal, setelah kontrak lima tahun, mungkin menjadi Associate Profesor. Selain itu ada yang disebut Profesor Substituto yaitu seorang guru pengganti dengan kontrak jangka pendek untuk penggantian guru karena cuti bersalin, cuti tahunan atau situasi temporer lainnya. Terakhir adalah Visiting Profesor, professor ini biasanya melakukan  penelitian sebagai kewajiban dari kontrak atau karena  kebutuhan PhD. Di negara-negara seperti Mesir, professor dibagi atas 3 kelompok yaitu assistant professor, associate professor dan professor.

Bagaimana halnya dengan Indonesia. Jika merujuk pada Undang-Undang Guru dan Dosen, sebetulnya jenjang jabatan akademik seorang dosen dibagi menjadi empat jenjang yaitu asisten ahli, lector, lector kepala dan professor. Berdasarkan ini, tidak ditemukan adanya istilah-istilah atau pengklasifikasian professor seperti yang disebutkan di atas yang terjadi pada beberapa Negara. Namun demikian, jika merujuk pada penjelasan Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor: 1247/D/C/99  tertanggal 14 Mei 1999 tentang persyaratan untuk diangkat menjadi guru besar, maka disana dapat ditemukan adanya pengklasifikasian lebih lanjut mengenai guru besar yaitu guru besar dan guru besar madya.
Apa Kewenangan dan Kewajiban Professor?
Seiring dengan semakin meningkatnya kesejahteraan guru dan dosen termasuk para guru besar yang diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen, maka kewenangan dan kewajiban professor pun semakin meningkat dan semakin berat. Meskipun sejak dulu, tugas dan kewajiban para guru besar telah didorong untuk senantiasa melakukan research-research, menemukan hal-hal-hal baru, tetapi tidak seketat dengan apa yang terjadi saat ini. Tunjangan professor dapat dicabut jika tidak melakukan publikasi  berupa buku dalam tiga tahun terakhir. Karena Professor adalah jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan, maka professor mempunyai kewenangan untuk membimbing calon doktor  sebagai jenjang pendidikan tertinggi. Professor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat. Menulis buku dan karya ilmiah ini merupakan sarana yang baik di dalam rangka penyebaran ide-ide dan gagasan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat. Di Indonesia ada yang dikenal dengan istilah professor paripurna yaitu professor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional dapat diangkat menjadi professor paripurna. Pengaturan lebih lanjut mngenai professor paripurna itu ditetapkan oleh setiap perguruan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, professor yang kedudukannya sebagai pemegang jabatan akademik tertinggi dalam system pendidikan di Perguruan Tinggi, professor adalah panutan baik secara akademik, kepribadian, tingkah laku yang mencerminkan sosok seorang mahaguru. Lebih dari itu, karena kedudukannya sebagai pemegang jabatan akademik tertinggi, professor diharapkan menjadi lebih bijaksana (wise) dalam mengambil keputusan. Majulah para professor-ku, majulah Indonesia-ku.

Monday 3 October 2011

Urban Governance, Partnership, Determinants and its Challenges


After reviewing and discussing the basic concept of partnership; theories and models of partnership; partnership movement in the development of health promotion, this section examines how relevant sectors work together for achieving urban governance and what the challenges and determinants for successful partnership are based on international literature and experiences. Therefore, this part is divided into three sub sections: partnership and urban governance; determinants for successful partnership and challenges and barriers in building partnership.

1.        Partnership and Urban Governance
Partnership relates to urban governance. Partnership only can run well if urban governance is comprehensively understood. Chapter two, section 2.3.2 has already explained more detail about urban governance. There are three main actors to develop good urban governance: government, private sector and Non Government Organizations (NGOs). Starting from this concept it can be said that government and governmental bodies at all levels are only one of the elements of urban governance actors. Government needs other key sectors such as private sector and NGOs. Therefore, building partnership for health needs all these three actors. According to Stoker (1998) in Green, at al., (2009) there are five propositions of governance as follows:
·         Governance refers to multiple organizations and players
·         Governance recognizes the boundaries and responsibilities for addressing socio-economic matters.
·         Governance recognizes mutual dependence among organizations in joint action.
·         Governance is about autonomy of players
·         Governance recognizes government is able to use new tools to guide (Green, Price, Lipp, & Priestley, 2009).
As explained in the previous chapter that urban governance is determined by various factors including community capacity, actor participation, openness and transparency and leadership, there is no a single model of urban governance. Green at. al. (2009) in their paper on partnership structures in the WHO European healthy cities project concluded that although there are some theories which describe governance and urban governance. However, there is no single governance model for the development an effective partnership (Green, et al., 2009; Tagunicar, 2009). Governance differs from government, governance is more facilitating while government is commanding or instructing.

2.        Determinants for Successful Partnership

It is not easy to implement a collaborative partnership. A variety of literature has explained a range of factors that influence an effective partnership in general both private and public sector. However, study on specific issues such as healthy city is still very limited especially in developing countries including in Indonesia. Therefore, to obtain a comprehensive understanding, this section reviews factors affecting the successful partnership internationally.

Building an effective partnership with an integrated and holistic approach is necessary to present structure for related sectors and institutions to express their thoughts; and a mechanism for designing holistic and comprehensive strategies which involve communities and other parties (Tagunicar, 2009).  Tagunicar (2009) further explains that the process of building a partnership is multi aspects; it offers possibility for change; it mobilizes resources to make changes; it develops a long time vision; and it looks for and involves various partners. The process of building a partnership requires an effective partnership structure; trust among partners and learning from partners. Hence, there are some traits of an effective partnership. Strong partnership has to have nature of voluntarism; common aims and interests; mutual dependency and support; synergy and commitment to work together; shared capabilities and resources; and clear communication. In addition, partnership needs respect and trust each other (Tagunicar, 2009).

World Economic Forum, Global Corporate Citizenship Initiatives, in cooperation with IBLF (International Business Leaders Forum), Harvard University and John F. Kennedy School of Government published a report on Partnering for Success in business perspective written by Nelson (2005). He expresses that there are seven factors affecting successful partnership: partnership relies on honesty and transparency and clear communication to achieve trust and understanding; it requires clear roles and responsibilities; commitment; target oriented; mutual respect in differences of approaches, capabilities, and time. Additionally, an effective partnership can be built when all partners gain mutual benefit; and understanding the local partners and beneficiaries’ needs (Nelson, 2005). Davies (1998) notes that there are several prerequisites for an effective partnership: openness and transparency among partners; avoidance of suspicious attitudes and behavior; adoption organizational structure of partnership (differences in business and civil society organisations); skills and capacity building. Davies (1998) states that partnership occurs if  there is “an enabling climate set by the public sector and intergovernmental organisations which underpins partnership” (Davies, 1998 p.185)

Building a better partnership requires basic principles. Hudson and Hardy (2002) and Wildridge et al. (2004) express six principles of partnership. Partnership needs acknowledgment of the partnership needs. This relates to the history of partnership and willingness to working in partnership; partnership requires clarity and realism of purposes. Partnership can only work well if the purposes of partnership are clear and realistic.   In addition, partnership needs trust. Trust is essential to work together in implementing and planning related issues (Rinehart, Laszlo, & Gwen O. Briscoe, 2001). Hudson and Hardy (2002) and Wildridge et al. (2004) further explain that an effective partnership occurs if there are trust maintenance and development; establishment of clear and strong partnership management; and monitoring, review and organizational learning (Hudson & Hardy, 2002; Wildridge, Childs, Cawthra, & Madge, 2004).

Mattessich and Monsey (1992) wrote a book entitled Collaboration: What Makes It Work. The book was a review of research literature on factors that influence an effective collaboration. This book is relatively old. However, the book explains in detail about the factors influencing the effectiveness of collaboration. They outlined 19 aspects influencing the successful collaboration grouped into six categories: factors related to the context/environment; factors related to the membership characteristics; factors related to the process and structure; factors related to the communication; factors related to the aims; and factor related to the resources.  

Factors related to the context/environment include the history or previous work experiences of collaboration in the community; collaborative group is regarded as a leader in the community, political and social climate conducive. Of the three aspects, mostly research identified that previous work experiences are essential to build an effective partnership. The second factor is factors related to the membership characteristics. These include the importance of mutual respect, understanding and trust, appropriate cross-section of collaborative members, the collaborative members see collaboration as in their self interest, and ability and willingness to compromise. All those factors are important. However, the most important aspects of factors related to the characteristics of membership are mutual respect, understanding and trust and appropriate cross section of members. The third factor is factors related to the process and structure. There were five aspects identified in this factor which are members share a stake in both process and outcome and multiple layers of decision making. These factors are the most significant factors related to the aspects of process and structure of collaboration. Others aspects include flexibility, clear roles and policy guidelines and adaptability. Wildridge et al. (20004) add one aspect in the factors associated with the process and structure which is appropriate pace of development (Wildridge, et al., 2004). Thus, according to Wildridge et al. (2004) number of indicators is to be 20 indicators.

The fourth aspect is factors related to communication. These include open and frequent communication, established formal and informal communication links. Some studies identified the importance of communication in which communication was done openly and more frequent both formal and informal communication. In addition, factors related to aims of collaboration. Three aspects identified which are concrete, attainable goals and objectives, shared vision, and unique purpose. Finally, factor related to resources. These include sufficient funds and skilled convener (Mattessich & Monsey, 1992).

Gillies (1998) evaluated the impact of partnerships for health promotion in Northern and Southern countries. Through reviewing published literature and using case study, Gillies found that the larger the level of public engagement in practices of promoting health, the better the impact of alliances.  Voluntarism, peer project and public activities made sure greatest impact from community approach. Additionally, organizational structure of partnership that had a duration or period in the process of planning and implementation was found to be a key success factor in building partnership. This is because such structure provides a mechanism for members/players to share power, to have responsibility and authority and also allow local people to articulate differences (Gillies, 1998).

Organizational structure of partnership determines much an effective partnership.  Green at al. (2009) developed new partnership structures in the WHO European Healthy Cities Project. By conducting interviews of 24 representatives of the cities, results of a structured questionnaire from 44 cities and also supported by publications and documents from the project from 1998 to 2003, the study found that partnership structure among them combines formal and informal partnership methods. Cities were organized in different way because local government had differences in local problems and choices. Mostly cities experienced a change in the process of decision making and health planning as a result of membership of the WHO European Healthy Cities Network (Green, et al., 2009). They further explained that three critical factors for successful partnership were identified from respondents: membership of the WHO-European Healthy Cities Network (EHCN) and strong political will (Mayors and local politicians); a project infrastructure with full time of project coordinator; and community participation.

Donchin et al. (2006) evaluated the implementation level of principles and strategies of the Israel Healthy Cities Network and contributions the network to its members. The study covered six aspects of the principles and strategies of the healthy cities, namely equity policy and political support; management; promoting health programs; community engagement; intersectoral partnerships and environmental activities. 36 coordinators involved in the Healthy Cities Network during 2003 were contacted by mail and at the annual meeting. However, only 18 participants actively completed the questionnaires. This study found that the intersectoral collaboration dimension obtained the highest score while the implementation of the environmental protection dimension was the lowest score. The coordinator who invested more than 20 hours a week was positively associated with a higher score on the dimension of management. Coordinator who had previous work experience was associated with the higher score of community participation and intersectoral collaboration. This study concluded that strong political support and commitment supported by coordinator capability will lead to a better healthy city implementation (Donchin, Shemesh, Horowitz, & Daoud, 2006). This research has to be tested in other cities especially in developing countries because healthy city program might have same strategies and principles but different in the level of implementation

Learning from the partnership literature: Implications for UK University/National Health Service Relationships and for Research Administrators Supporting Applied Health Research written by Bauld and Langley (2010), it argues that there are nine predicting success factors of partnership: all partners need to be committed to work  together and to solve  the identified problems; they have to trust each other; they have to have a commitment to sharing resources; they have to be prepared to share information; an effective partnership requires strong leadership; small partners need to be recognized; all partners have to agree the purposes of partnership; process of management for the collaboration need to be clear and the last is partnership need clear communication (Bauld & Langley, 2010).

Roussos and Fawcett (2000) conducted long review on collaborative partnership as a strategy for improving community health. The review aimed to examine factors affecting an effective partnership and the effect of partnership on environmental change including community and system change; community behavior change and population health outcome. By searching the relevant literature in electronic journal databases such as HEALTHSTART, MEDILINE and PSYCHLIT, bibliographies of previous reviews, descriptive papers and several recommendations from authors, they found some wider contributors to the effectiveness of partnership for community health: social and economic factors; social capital (trust and degree of community participation). Rinehart et al. (2001) separately explain that trust is the core of an effective collaboration. In addition, Roussos and Fawcett (2000) add that a collaborative partnership depends on the partnership context including previous collaborative experiences among relevant stakeholders in sharing resources, responsibilities, and risks; and public control in agenda setting. The effectiveness of a collaborative partnership can be seen from the population outcomes. This generally takes longer to know the effect of partnership, for example, the effects to mortality and morbidity rate. Reduced obesity and sport injuries rate are a number of examples of  the community behavior change (Roussos & Fawcett, 2000).
 
Although the reviewers have examined various published studies on partnership at local level (county, city or neighborhood) to address community health problems, they recognize that these still have some limitations including potential bias from publication caused by paid evaluation of partnership studies as part of national policies, the samples being too general, or the review only focuses on health related concerns (Roussos & Fawcett, 2000). Future research is expected to examine an effective partnership using a specific sample of people, groups/institutions or cities. The study may include healthy city partnership at local government level. Research relies on literature review is needed. However, by doing triangulation including observation, in-depth interview, and FGDs directly it will produce better quality research.

3.         Challenges and barriers in building partnership

Building collaboration and partnership is not easy because it involves many people and sectors from different viewpoint, work culture and interest (Barton, Tsourou, & World Health Organization. Regional Office for, 2000). A variety literature has examined challenges, barriers and difficulties to build an effective partnership. However, studies of partnership related to them are still lacking especially in the local government with certain issues like healthy cities. This section reviews a variety of challenges, barriers and difficulties to produces an effective partnership. By knowing and understanding those issues, they make easier for partnership players and decision maker to formulate and look for solution.

Based on literature review conducted by Roussos and Fawcett (2000) there are several issues relating to challenges and barriers of partnership. The challenges and barriers are lack of trust and respect and this is the most frequently mentioned challenges. Another challenge is distribution of power and control is inequitable. Then, conflicts among stakeholders relate to differences in perspectives, values, beliefs, priorities and assumptions; conflict about funding; difference in emphasis on task and process; time-consuming process; community representation  (who and how represents community )  (Roussos & Fawcett, 2000).

There are several lesson learned of partnership obstacles as reported by Nelson (2005) on Partnering for Success written World Economic Forum, Global Corporate Citizenship Initiatives, in cooperation with IBLF (International Business Leaders Forum), Harvard University and John F. Kennedy School of Government. He noted five main barriers to produce an effective partnership: lack of trust and understanding; diverse modus operandi; different timeframes; lack of clarity and communication and lack of skills and capabilities /competencies (Nelson, 2005). These challenges are issues faced by private sector or economic perspective. It may be different with other private sector in one country to another or different from public sector.

McQuaid (2000) expresses there are potential disadvantages in working partnership. These include: first, unclear goals. Unclear goals and objectives are frequently considered as a main cause of the partnership failure. Many existing partnerships agreed global aims but the aims in detail were probably unclear or the partners had different understanding. Without clarity of purposes this leads to misinterpretation, lack of coordination, and conflicts among the partners.  The second of potential disadvantages of partnership is resources costs. It means that resources costs are considerable in relation to time spent by staff in meeting, discussion and making contract or in postponing decisions because of consultation with partners. The third challenge of partnership is uneven power. It does not mean totally partners have same power. Some partners may have more power than others due to the larger engagement in the area or have greater political authority in the certain aspects. Balance of power between partners is probably more appropriate that unequal power. The fourth problem is cliques gaining power. For example, the partnership process is dominated by certain groups, actors or cliques resulting the increase their benefits and advantages rather than in general wellbeing and welfare for all members.

The fifth issue is impacts on other services. These include the partners’ scope, for example, local government having large ranges of responsibilities while others such as health departments, regional planning agencies and Non Government Organizations have much narrower responsibilities. The sixth is organizational difficulties. These include differences in missions, orientations, structures and process of partnerships. Others include legal and technical problems; and political problems as well both external political issues and internal bureaucracy. The last challenge of partnership is differences in viewpoint among partners. They have different philosophy in seeing problems, priorities and may solutions (McQuaid, 2000). This paper only reviews the involvement of public and private sector to manage public services; these do not involve for instance community organizations or Non Governmental Organizations. The more organizations involved the more complexity of partnership challenges exist. Therefore, the involvement of community organizations or Non Government Organizations in this partnership may lead to different challenges.

Scholars like Bauld and Langley (2010), Holtom (2001), Hudson and Hardy (2002) and Walshe, Caress, Chew Graham and Todd (2007) identified five main challenges to inter-sectoral working between health and social services taken from the theoretical framework developed by Wiston and Hardy (1991). Therefore, to overcome partnership problems, partners or decision makers have to address those problems: structural; procedural; financial; professional; and status and legitimacy.  The structural problems relate to fragmented responsibilities and lack of shared structure. The procedural problems associate with operational and planning system. Different organizations may have differences in operating and planning them. In addition, problems relate to financial. Each organization has differences in funding and budget streams. Professional problems associate with differences in values and roles. The last challenge is status and legitimacy problems. This is slightly related to political aspects. There is difference between partnership developed by elected and appointed (Bauld & Langley, 2010; Holtom, 2001; see also Bauld and Langley, 2010 and Hudson and Hardy, 2002; Hudson & Hardy, 2002; Walshe, Caress, CHEW GRAHAM, & Todd, 2007). This paper is very useful for me because it provides how the partnership obstacles are addressed including the experience at local level. However, it only involves two main partners who are health department and social services department. The problem will be different from others if number of players involved is multi actors and departments.

Partnership practice guide issued by VCOSS (Victorian Council of Social Services) notes six main challenges of partnering: First, partnership for what? It indicates that the reasons for establishing the partnership have to be clear, understood and accepted by members. Second, partnership needs trust with others. Without trust partnership does not work well. Third, challenge of leadership.  A leader represents the organizations. Therefore, a leader is a key attribute from partnership members. Fourth, challenges relates to partnership membership including consistency; and skill, knowledge and experience of members in helping organizations. In addition, challenges associated with partnership authority and resources (Victorian Council of Social Services).  The challenges identified in this partnership practice guide aim more on guiding social services organizations to implement the program.  Such challenges need to be tested in practical experiences.

Working in partnership often is not an effective way to address the complex issues. Gray (1989) noted, as cited in Wildridge (2004), a range of conditions in which collaboration between potential collaborators is not appropriate. Generally, this occurs due to differences in fundamental ideology, unequal power distribution, antagonism history, and increased costs caused by this collaboration. Furthermore, partnership will fail if there is lack of perceived appreciation, increased workload as a result of new partnership structure, and difference in work culture. Difference in coordination line of accountability also can cause to a lack of clarity of role at management process including team and personal management (Wildridge, et al., 2004). This paper fully relied on the 141 literature collected from a variety of international published articles. A number of arguments relating to the obstacles in working partnership may be better when testing on the real field conditions, especially at the local level.

Israel et al. (1998) assessed partnership approach based on review of community-based research. They found a range of significant partnership challenges: lack of trust and respect; unfair distribution of power and control; differences in values, beliefs, perspectives, priorities, assumptions, and languages; funding conflicts caused by different priorities, task and process; time consuming; community representation and how is community defined (Israel, Schulz, Parker, & Becker, 1998). Many references used to review the partnership approach, approximately 200 references. However, of 200 references only 2 references related to healthy city research: research written by Hancock (1993) on the healthy city from concept to application: implementations for research, and published by World Health Organization (1998) in Copenhagen entitled healthy cities: action strategies for health promotion. Therefore, the challenges of partnership mentioned above need further to be examined, especially relating to the implementation of healthy cities.

Israel et al. (2006) reviewed challenges and facilitating factors in sustaining community-based participatory research partnership. Generally, there are three groups of challenges to partnership sustainability: challenges on sustaining relationships and commitments. These include lack of time and resources, sharing sources, and morale and energy maintenance; challenges on sustaining knowledge, capacity and values. The challenges included here are limited time and resources and lack of awareness of Community Based Participatory Research CBPR). The last is challenges on sustaining funding, staff, programs, and policy change. These include funding of infrastructure for CBPR and limited time to complete research (Israel et al., 2006). The challenges of this partnership only relate to the Community Based Participatory Research Partnership, these are not related to partnerships such as health promotion programs and healthy cities.

Glendinning (2002) published an article entitled Partnership between health and social services: developing a framework for evaluation. She has different emphasis in seeing the problem of partnership. The problems of partnership according to her consist of two aspects which are policy problems and definition problems (Glendinning, 2002). Partnership is a policy problem because it is encouraged between different policies and statutory bodies, for example, between public sector and private sector; between public sector and non government organizations; between government organizations and private sector; between politicians and Non Government Organizations. Audit Commission (1998:5) as cited in Glendenning (2002, p.116) argued that “partnership working is a potentially powerful tool for tackling difficult policy and operational problems that local agencies face”.  Another problem of partnership is partnership definition itself.  Huxham et al. (2000) explain that the term to describe cross sectoral and organizational working including alliance, networking, collaboration, cooperation, coordination and joint working are often used interchangeably (Boydell, 2007; El Ansari, Phillips, & Hammick, 2001). There is no  standard word used to represent them (Huxham, Vangen, & Eden, 2000).

Bauld and Langley (2010) published a relatively new article entitled Learning from the Partnership Literature: Implications for UK University/National Health Service Relationships and for Research Administrators Supporting Applied Health Research issued by Journal of Research Administration   (Bauld & Langley, 2010). This paper noted that different model of partnership has different barriers and challenges and this has to be identified at the beginning of partnership process. As an example, some partnerships occur in name only, and do not succeed to realize their maximum goals (Rummery, 2002). It is probably because of legal and policy barriers for sharing resources and information or other capitals. Organizations may have limited authorities to address the existing challenges. One thing that we have to note that although partners have to share some levels of interdependence, this does not mean interdependencies are similar for each collaborator or essentially equitable (Rummery, 2002). Different partners have different issues or different countries have different context of partnership challenges. Therefore, these barriers of partnership need to be examined in the real practice.

A number of challenges and determinants for successful partnership at different programs and levels have been discussed above. The challenges and determinants like these occur in almost all countries and regions in both developed and developing countries including Indonesia in which healthy cities are being implemented. However, there is still limited research that proves what kind of challenges and success factors affecting successful partnership in implementing the healthy cities programs, especially at local government level. Therefore, considering various factors as mentioned in chapter 2, chapter 3 and chapter 4, this research aims to examine and identify a variety of challenges, determinants and needs for achieving successful healthy cities partnership in Indonesia especially at local government level. The following chapter explains research methodology.

4.        Conclusion
This paper argued that working in partnership would be effective if determinants for successful partnership are improved including environment; membership nature; process and structure; communication; purpose; resources; and recognition/acknowledgement. Several partnership challenges occurred due to structural; procedural; financial; professional; status and legitimacy; and appreciation factors.  


REFERENCES


. Department of Justice, Office of Community Oriented Policing Services.