Monday 5 December 2011

Makassar: Kota Dunia, Penghargaan Healthy City dan Kejadian Banjir

Kota Makassar dan beberapa kota lainnya di Indonesia baru saja mendapatkan penghargaan Swasti Saba Wistara. Sebuah penghargaan kota sehat (Healthy City) yang diberikan oleh pemerintah pusat melalui keputusan bersama (joint decision) antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri, Indonesia. Tentu saja ini adalah sebuah hasil karya dan kerja nyata bagi pemerintah, aparat pemerintah bersama dengan masyarakatnya. Tetapi nampaknya masyarakat tidak puas atas penghargaan ini. Apa arti dan makna sebuah penghargaan itu bagi Makassar menuju Kota Dunia (World City) dan Makassar Kota Sehat (Makassar Healthy City) sementara pada waktu yang relatif bersamaan Makassar menjadi kota banjir. Menarik dikaji dalam tulisan ini.

Penghargaan Healthy Cities
Tahun lalu (October 2010), saya mendapat kesempatan untuk menghadiri the 4th Global Conference of the Alliance for Healthy Cities di Seoul, Korea Selatan atas biaya dari Griffith University, Australia dan penyelenggara conference di Seoul. Conference ini dihadiri oleh lebih dari 500 peserta dari berbagai negara  khususnya negara-negara yang berasal dari Western Pacific region seperti Australia, Korea Selatan, Jepang, China, Malaysia, Phillipine, Vietnam, Singapore, Mongolia,   dan negara-negara di Pacific islands seperti  Vanuatu, Solomon islands dan sebagainya. Para walikota/bupati, politisi, birokrat, unsur perguruan tinggi, NGOs, hadir pada conference itu. Saya sebagai perwakilan Griffith University, Australia mempresentasikan tentang Comparative analysis of Healthy Cities and Clean Cities (Adipura) in Indonesia.

Apa yang saya ingin paparkan disini adalah bahwa di negara-negara yang disebutkan tadi juga mengenal adanya penghargaan baik penghargaan yang diberikan oleh WHO maupun penghargaan yang diberikan oleh pemerintah pusat disetiap negara terhadap kota yang mengembangkan Healthy Cities. Penghargaan ini diberikan berdasarkan kategori atau dimensi dari Healthy Cities itu. Pada tahun 2010 yang lalu, WHO misalnya memberikan penghargaan kepada  Kota Changwon, Korea; Kota Nagoya, Japan; Kota Zhangjiagang, China yang sukses mengembangkan Environmentally Sustainable and Healthy Urban Transport (ESHUT). Kota Changwon dan Jangheung-gun, Korea sukses mengembangkan A healthy city is a safe city (injury and violence prevention).  Kota Changwon, Yeongi County, dan Kota Wonju, Korea sukses mengembangkan promoting physical activity in the city.  Kota Wujiang, China dan Kota Seongdong, Korea yang sukses mengembangkan health promoting schools in cities.  Kota Gwangmyeong, Korea dan Kota Tagaytay, Philippines sukses  mengembangkan 100% indoor smoke-free workplaces, restaurants and bars in healthy cities dan kepada Gangnam-gu, Seoul, Korea yang sukses mengembangkan recognition of best practices in public sanitary conveniences. Itu adalah sejumlah penghargaan yang diberikan oleh WHO terhadap negara-negara yang mengembangkan Healthy Cities di Western Pacific Region.

Di tingkat negara seperti Korea juga misalnya memberikan penghargaan berupa sertifikat atau trophy kepada kota-kota yang mengembangkan Healthy Cities pada setiap bulan April in the Korean Healthy City Partnership General Assembly (semacam Majelis Umum Forum Kemitraan Kota Sehat Korea). Namun pemberian penghargaan ini tidak secara rutin diberikan.   

Apa pelajaran yang bisa dilihat dari penghargaan ini: pertama, penghargaan itu penting untuk memberikan rasa bangga kepada pimpinan kota dan organisasi terhadap usaha, aksi dan kebijakan dalam mewujudkan Healthy Cities. Kedua, penghargaan Healthy Cities diberikan kepada kota-kota yang sukses mengembangkan dimensi Healthy Cities secara spesifik misalnya kota yang sukses mengembangkan program physical activity, kota yang aman dari kekerasan dan kecelakaan, kota yang sukses menata lingkungan secara berkelanjutan dan system transportasi yang sehat. Mereka mendapatkan penghargaan Healthy Cities karena sukses mengembangkan dimensi Healthy Cities, penghargaannya lebih spesifik. Ketiga, penghargaan-penghargaan tersebut berjalan secara alamiah, bukan sesuatu yang harus dipaksakan dan menjadi tujuan akhir dari Healthy Cities. Para walikota tidak berubah untuk berlomba menata kotanya hanya karena ingin mendapatkan penghargaan tadi. Tidak seperti penghargaan yang diperoleh para pejabat di Indonesia misalnya penghargaan piala Adipura dan piala atau penghargaan lain yang ada, dimana kota dibersihkan, jalanan disikat hanya karena ingin meraih Piala Adipura. Ragam tarian, adat dan budaya dilakukan hanya karena Tim Penilai Healthy Cities telah datang.

Di Indonesia penilaian Healthy Cities menjadi sesuatu yang sangat sakral. Kota-kota dan segala sumber daya yang dimilikinya tampil terbaik pada saat tim penilaian dilakukan. Mereka berubah karena ingin dinilai. Apa dampaknya setelah penilaian dilakukan, piala dan penghargaan telah dicapai, keberlanjutan program tidak berjalan sebagaimana mestinya karena kota berubah karena penghargaan.  Keempat, penghargaan Healthy Cities tidak bernilai politis, artinya bahwa para walikota bekerja keras mencapai piala atau penghargaan tadi bukan karena ingin menjadikan dasar kesuksesan untuk maju sebagai walikota periode berikutnya atau pada pemilihan gubernur yang akan datang misalnya. Healthy Cities adalah proses, bukan output. Healthy Cities adalah kebijakan jangka panjang yang mempertimbangkan seluruh dimensi pembangunan yang akan berimplikasi pada munculnya sakit, cacat, kecelakaan dan kematian.

Healthy Urban Planning
Para ahli berpendapat bahwa terjadinya banjir disebabkan karena naiknya permukaan air (sea level rise) dan meningkatnya curah hujan. Argumentasi ini tentu ada benarnya tetapi dalam konteks Makassar dan kota-kota lain di Indonesia terjadi banjir karena pemerintah kota gagal menata kota dengan baik (Unhealthy Urban Planning), pemerintah kota belum dapat menjadi pengawas kota yang baik, pemerintah kota belum dapat menjadi penegak aturan yang baik. Tata ruang, tata kota belum ditata dan direncanakan serta diimplementasikan dengan baik. Banjir tahunan terjadi dimana-mana karena selokan tersumbat dimana-mana. Air tidak bisa mengalir karena selokan tersumbat, tidak ada saluran yang memungkinkan air bisa mengalir dengan maksimal, jalanan sudah lebih rendah daripada selokan, banjir pasti terjadi, kota pasti tenggelam karena banjir. Dampaknya bukan hanya karena banjirnya itu sendiri tetapi dengan banjir bisa memberikan dampak lain misalnya terjadinya kemacetan lalu lintas; murid, siswa dan guru datang terlambat ke sekolah; pekerja pemerintah terlambat memberikan pelayanan kepada masyarakat; buruh dan pegawai swasta dapat diberikan sanksi dari perusahaanya karena dianggap tidak disiplin dan menurunnya produksi perusahaan dan sebagainya. Dari aspek lingkungan dan kesehatan dampaknya jelas yaitu lingkungan menjadi tidak bersih, potensi munculnya penyakit menjadi semakin lebih besar.

Pontoh dan Kustiwan (2009) dalam bukunya Pengantar Perencanaan mengidentifikasi berbagai permasalahan perencanaan perkotaan. Pertama, perencanaan tata ruang versus pertumbuhan perumahan kumuh. Kota mempunyai perencanaan tata ruang, tetapi tata ruang ini pula memberi konsekuensi meningkatnya perumahan-perumahan kumuh. Masyarakat miskin yang ada di kota (urban poverty) mencari lahan baru untuk hidup survive. Kedua, perencanaan tata ruang versus perambahan ruang oleh sector informal. Kota mempunyai perencanaan tata ruang, tetapi tata ruang ini pula memberi dampak dimana masyarakat melakukan perluasan usaha-usaha bisnis, pedagang kaki lima. Perhatikan dimana ada pembangunan (perumahan, kampus, rumah sakit, perkantoran) akan diikuti dengan merambahnya restaurant-restorant kecil, usaha percetakan, penjual koran dan sebagainya. Ketiga, perencanaan tata ruang versus pembangunan oleh dunia usaha. Kota mempunyai perencanaan tata ruang tetapi para pebisnis dan dunia usaha juga melakukan aktivitas pembangunan. Keempat, perencanaan tata ruang versus pelaksanaan versus pengendalian. Dimensi yang terakhir ini, mungkin yang paling krusial. Sebetulnya dalam perencanaan tata ruang tata kota sudah melihat aspek-aspek sosial, lingkungan dan sebagainya tetapi mungkin ini yang paling bermasalah. Pelaksanaan dan pengendalian tidak jalan, aturannya jelas tetapi tidak jalan, tidak ada sanksi yang diberikan kepada orang-orang atau organisasi yang melanggar aturan tata ruang dan tata kota. Dampaknya kota akan menjadi lebih semrawut, relatif tidak dirasakan pada musim kemarau tetapi dampaknya bisa dirasakan dimusim hujan.

Oleh karena itu, paling tidak ada dua hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah kota yaitu kebijakan jangka pendek dan kebijakan jangka panjang. Dalam jangka pendek, lurah dan camat atas komando walikota harus turun lapangan menggerakkan masyarakat untuk menjamin dan memastikan tidak ada selokan-selokan yang tersumbat. Camat dan lurah berada pada garis terdepan dalam menggerakkan masyarakat. Masyarakat butuh diorganisir untuk membersihkan di masing-masing wilayahnya. Partisipasi masyarakat dapat tumbuh jika ada yang menggerakkan. Tidak ada kata terlambat  untuk tidak menjamin kebersihan kota. Pemerintah menfasilitasi apa yang menjadi kebutuhan camat dan lurah demikian pula masyarakat tingkat bawah. Kedua adalah mengantisipasi terjadinya wabah penyakit. Puskesmas, rumah sakit dan sarana pemberi pelayanan kesehatan lainnya harus siap dan tanggap untuk memberikan pelayanan yang maksimal. Paling tidak dua hal itu menjadi penting dalam kebijakan jangka pendek. Dalam jangka panjang, pemerintah kota harus menjadi pelaksana (executor) dan pengawas (controller) yang baik. Ketidaktegasan pemerintah kota dalam menata kota dan menjamin kebersihan kota akan semakin semrawut dan berantakan kota ini. Kota dunia bukan karena kota dipenuhi dengan bangunan-bangunan tinggi tetapi kota dibangun dimana masyarakat bisa hidup secara bersih, sehat, aman, dan damai. Makassar Kota Sehat (Makassar Healthy City) adalah salah satu esensi dari Makassar  Kota Dunia (Makassar World City), yaitu kota dimana jalanan bebas dari genangan banjir.

No comments:

Post a Comment