Thursday 17 November 2011

Healthy Cities di Indonesia: Political Tasks (Catatan Penghargaan Swasti Saba)


Pendekatan Kota Sehat (Healthy Cities Approach) nampaknya semakin penting dalam konteks perkembangan kota, urbanisasi dan industrialisasi mengingat implikasi kesehatan yang ditimbulkannya. Sejak WHO memperkenalkan konsep kota sehat di Indonesia pada tahun 1996, bersamaan dengan penetapan theme hari kesehatan sedunia yaitu Healthy Cities for better Life, saat ini hampir separuh dari jumlah kabupaten/kota di Indonesia telah mengembangkan kabupaten/kota sehat. Beberapa kabupaten/kota di Indonesia dapat mencapai penghargaan swasti saba tertinggi. Namun tidak sedikit pula kabupaten/kota yang gagal memenuhi kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri.

Konsep Swasti Saba
Dari penelusuran bahasa, Swasti Saba berasal dari Bahasa Sansekerta. Swasti artinya sehat sejahtera dan Saba artinya kota. Swasti Saba berarti kota sehat sejahtera. Dalam konteks Kota Sehat di Indonesia seperti yang diatur dalam Pedoman Penyelenggaran Kabupaten/Kota Sehat yang merupakan Peraturan Bersama Antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor 34/2005 dan Nomor 1138/MOH/PB/VIII/2005, pemerintah mengkategori ke dalam tiga tingkatan yaitu Swasti Saba Padapa (pemantapan), Swasti Saba Wiwerda (pembinaan) dan Swasti Saba Wistara (pengembangan). Untuk mencapai kriteria tersebut, sembilan tatanan kabupaten/kota sehat telah ditetapkan oleh pemerintah pusat yaitu kawasan pemukiman, sarana dan prasarana umum;  kawasan sarana lalu lintas tertib dan pelayanan transportasi; kawasan pertambangan sehat; kawasan hutan sehat; kawasan industri dan perkantoran sehat; kawasan pariwisata sehat; ketahanan pangan dan gizi; kehidupan masyarakat yang sehat yang mandiri; dan kehidupan sosial yang sehat. Kesembilan tatanan tersebut dapat dipilih oleh kabupaten/kota berdasarkan kemampuan, sumber daya dan kebutuhan pemerintah daerah dan masyarakat. 

Oleh karena itu, untuk kota yang mau mencapai Swasti Saba Padapa, maka  kabupaten/kota sekurang-kurangnya memilih 2 tatanan yaitu tatanan kawasan pemukiman, sarana dan prasarana umum; dan tatanan kehidupan masyarakat yang sehat yang mandiri. Kedua tatanan ini, nampaknya direkomendasikan kepada pemerintah kota yang ingin mengembangkan kota sehat dengan pertimbangan bahwa diawal perkembangan kota sehat di Indonesia banyak kota di Indonesia yang mendapat penghargaan kota sehat padahal kondisi lingkungan, kebersihan, angka kesakitan dan angka kematian, kejadian penyakit dan sebagainya masih sangat tinggi. Dengan pertimbangan itu, maka kedua tatanan (settings) ini adalah sangat esensial bagi kota yang mau mencapai tahap pemantapan. Berdasarkan hasil penilaian tim pusat (2009) beberapa kota di Indonesia yang termasuk dalam kategori ini  misalnya Kota Administratif Jakarta Timur, Kota Administratif Jakarta Selatan, Kota Cimahi, Kota Salatiga, Kota Jepara, Kota probolinggo, Kota Lombok Timur dan sebagainya.

Bagi kota yang ingin mendapatkan penghargaan Swasti Saba Wiwerda atau taraf pembinaan, maka pemerintah kota harus memilih 3-4 tatanan sementara kota yang ingin mendapatkan penghargaan Swasti Saba Wistara, kota harus memilih minimal 5 tatanan sesuai dengan potensi sumber daya setempat. Beberapa kota yang tercatat sebagai kota yang mendapatkan penghargaan Swasti Saba Wiwerda adalah misalnya Kota Administratif Jakarta Pusat, Kota Malang, Kota Kediri, Kota Mataram dan sebagainya, Sementara  Kota yang termasuk dengan kategori penghargaan Swasti Saba Wistara adalah Kota Yogyakarta, Kota Payakumbuh dan Kota Palopo. Program kota sehat dievaluasi setiap dua tahun, maka pencapaian penghargaan kota sehat sifatnya tidak konstan: bisa tetap, bisa meningkat atau justru sebaliknya, menurun. Beberapa kota di Indonesia yang menunjukkan grafik yang cukup bagus berdasarkan pencapaian prestasi Swasti Saba yaitu misalnya Kota Yogyakarta, Kota Makassar, dan Kota Palopo. Sementara beberapa kota yang pencapaiannya tetap misalnya Kota Kediri dan Kota Padang Sidempuan.

Political Tasks
Penulis pernah melakukan wawancara dengan salah satu staf senior di Kementerian Kesehatan, berkaitan dengan kebijakan implementasi kota sehat di Indonesia. Beberapa kota di Indonesia, katakanlah dengan sukses mengembangkan program Kota Sehat misalnya Yogyakarta dan Kota Palopo. Bahkan Palopo tercatat sebagai satu-satunya kabupaten/kota di Indonesia yang mempunyai Perda Kota Sehat. Lalu saya tanyakan, apa sebetulnya faktor yang dominant yang menyebabkan ada daerah yang cepat dan sukses mengembangkan Kota Sehat dan ada pula daerah yang lambat. Jawabnya adalah sederhana, kota sehat adalah tugas politik (political tasks). Implementasi kota sehat sangat bergantung pada kemaun politik (political will) dari para bupati dan walikota yang tentunya harus di back up oleh keputusan politik wakil-wakil rakyat di dewan.

Umumnya daerah yang sukses mengembangkan kota sehat mempunyai pimpinan daerah yang peduli dengan keadaan kesehatan dan lingkungan serta faktor-faktor yang mempengaruhi  kesehatan, demikian pula sebaliknya. Umumnya daerah yang sukses mengembangkan kota sehat mempunyai Bupati dan Walikota yang mempunyai visi yang kuat yang berpihak  pada rakyat dan keadaan kesehatan masyarakatnya. Daerah yang sukses mengembangkan kota sehat mempunyai Bupati dan Walikota yang membangun daerahnya dengan mempertimbangkan dampak-dampak kesehatan yang ditimbulkannya. Umumnya daerah yang sukses mengembangan kota sehat mempunyai bupati dan walikota yang peduli dengan pendidikan dan jaminan pemeliharaan kesehatan warganya. Umumnya daerah yang sukses mengembangkan Kota Sehat  mempunyai pimpinan daerah yang mau membiayai tatanan kota sehat secara utuh, dan sebagainya. Maka kepemimpinan adalah modal bagi pencapaian Kota Sehat.

Apa yang menjadi kesimpulan pandangan dari staf senior Kota Sehat di Kementerian Kesehatan tadi, sebetulnya juga sudah menjadi catatan oleh Duhl and Sanchez (1999) seperti yang ditulis dalam makalahnya Healthy Cities and the City Planning Process. Dalam kutipannya beliau menegaskan bahwa kesehatan bukan hanya issue sosial tetapi juga merupakan issue politik (we must remember that health is both a social issue and a political issue).  

Kerjasama Lintas Sektor
Program Kota Sehat adalah program lintas sektor. WHO telah menegaskan lebih awal bahwa kota sehat hanya bisa dicapai, jika sektor kesehatan dan sektor di luar dari Kementerian Kesehatan ikut memberi dukungan yang kuat dan terlibat secara aktif dalam pencapaian program kota sehat. Karena itu, tugas ini adalah tugas Kementerian dalam Negeri untuk memberi dukungan kuat kepada kementerian yang lain untuk terlibat dalam kebijakan kota sehat, demikian pula pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Posisi Kementerian Kesehatan dalam kebijakan Kota Sehat di Indonesia dalam kaitan dengan Peraturan Bersama Antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri paling tidak dapat dilihat dari dua aspek.

Pertama, Kementerian Kesehatan mendorong kementerian yang lain melalui Kementerian Dalam Negeri untuk terlibat mengembangkan kota sehat atau mempertimbangkan aspek-aspek kesehatan dalam setiap pengambilan kebijakan. Kementerian Dalam Negeri  pada tingkat pusat dan Bappeda pada tingkat kabupaten/kota mempunyai nilai tawar yang tinggi dan sangat strategis untuk mewujudkan program ini. Kedua, jika ditelaah lebih jauh sembilan tatanan kabupaten/kota sehat dalam peraturan bersama tersebut, maka sesungguhnya tugas kementerian kesehatan dan Dinas Kesehatan ditingkat provinsi dan kebupaten/kota hanya satu yaitu mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang sehat yang mandiri. Sementara tatanan yang lain menjadi tugas kementerian dan dinas yang lain misalnya kawasan pemukiman, sarana dan prasarana umum, penanggung jawab teknisnya adalah Dinas PU and Bapedalda. Kawasan sarana lalu lintas tertib dan pelayanan transportasi, penanggung jawab teknisnya adalah Dinas Perhubungan/DLLAJR dan sebagainya. Dari Sembilan tatanan kabupaten/kota sehat tersebut mempunyai peran dan tanggung jawab teknis yang berbeda. Kesemuanya bertujuan untuk mewujudkan kota sehat.

Karena itu, Swasti Saba dan implementasi Healthy Cities di Indonesia adalah sangat bergantung pada kemauan dan dukungan politik (political will and support) dari pemerintah daerah terutama para bupati dan walikota. Kerjasama lintas sektor adalah essensial. Dengan dukungan kebijakan para bupati dan walikota serta memperkuat kerjasama lintas sektor termasuk melibatkan NGOs, pihak perguruan tinggi, pihak swasta dan masyarakat secara keseluruhan, keadaan kesehatan yang lebih baik dapat diwujudkan.

No comments:

Post a Comment